22 November 2009

sepertiga kali seratus lima puluh

Beberapa hari terakhir ini, saya sedang mencoba menghilangkan stress dalam diri saya. Tetapi, malah mendapati, pemikiran saya sedikit ngawur dan tambah rancu. Ya, mulai suka memikirkan sesuatu terlalu detail. Padahal tadinya saya adalah pembenci detail.

Hal-hal kecil memang punya makna yang sangat luas dan dalam. Dan saya tergelitik untuk memikirkannya. Semuanya tampak relatif dan ambigu. Contohnya kalimat pada judul artikel ini. Kalimat matematika.

Mungkin matematika itu terlalu menggeneralisasikan banyak hal. Beberapa berarti ‘satu’. Satu untuk beberapa. Satu rumus, untuk menyelesaikan beragam persoalan. Bisa dalam bidang pertanian, ekonomi, politik, sosial, alam, hukum, dari masalah besar sampai masalah remeh temeh dalam keseharian. Beragam masalah dalam beragam disiplin ilmu bisa diselesaikan dengan ‘satu’ aturan main dalam matematika. ‘Satu’ untuk banyak hal.

Permasalahan hidup, bisa diterjemahkan ke dalam bahasa matematika (atau istilah matematikanya, ‘dimodelkan’), dan akhirnya bisa diselesaikan secara sistematis dan matematis. Dan uniknya, hampir setiap persoalan yang bisa dimodelkan secara matematis,bisa ditemukan solusinya.
Beragam permasalahan mungkin memiliki model matematika yang sama persis.

Jika dibalik, ‘satu’ model matematika, mungkin bermakna multi masalah.
‘Satu’ kalimat matematika mungkin ‘multi’ tafsir.

Contohnya kalimat pada judul ini: . Sepertiga kali seratus lima puluh. Hasilnya jelas 50.

Mungkin saja 'sepertiga kali 150' adalah terjemahan matematis dari masalah: Seorang ayah memiliki 150 kelereng. Ia bermaksud membagikan kelerengnya kepada ketiga anaknya, sedemikian sehingga setiap anaknya memperoleh jumlah kelereng yang sama banyak. Berapa banyak kelereng yang akan didapatkan tiap anaknya?

Atau, berarti seperti ini: Seorang anak memiliki kertas karton dengan ukuran (25 X 6) cm. Ia bermaksud membagi kartonnya menjadi tiga bagian yang sama luasnya. Berapakah luas setiap bagian karton itu?
Atau bisa juga terjemahan dari: Dilakukan percobaan pelemparan dadu sebanyak 150 kali. Berapakah frekuensi harapan munculnya mata dadu prima ganjil?

Atau bisa jadi: Sebuah perusahaan memperkirakan keuntungannya di tahun 2009 meningkat sebesar 25% dibanding keuntungannya di tahun 2008. Keuntungannya di tahun 2008 adalah sebesar 120 juta. Jika keuntungannya di tahun 2009 ini nantinya harus dibagikan secara merata kepada 3 pemilik perusahaan, berapa juta-kah keuntungan yang mungkin diterima masing-masing pemilik perusahaan di tahun 2009 ini?

Bisa juga seperti ini: Diperkirakan satu dari tiga wanita di suatu kabupaten menderita tumor payudara. Jika di salah satu desa di kabupaten itu terdapat 150 wanita, berapakah banyaknya wanita di desa itu yang mungkin menderita tumor payudara?

Dan masih banyak masalah lainnya, yang melibatkan kalimat 'sepertiga kali 150' . Mungkin kalau anda sedang tak ada kesibukan lain, bisa mengeksplor kalimat 'sepertiga kali 150' lebih luas dan dalam lagi.

(Sebenarnya, andai masalah ‘rasa’ bisa dimodelkan secara matematis, mungkin saya tak perlu menulis artikel gila ini)


***

kosong kini bangku itu

ingat dulu lihat kamu
duduk di bangku depan itu
ingat dulu papan itu
isi tulis kamu
tebar senyum untuk tiap orang kamu lihat
tapi cuma aku lihat kamu
dan bukan kamu lihat aku

mungkin biasa untuk kamu
tak lagi duduk di bangku itu
tak lagi tebar senyum untuk tiap orang kamu lihat

tapi aku beri tahu
tak biasa untuk aku
tak lagi lihat kamu
tak lagi lihat kamu senyum untuk tiap orang kamu lihat
lalu lihat kosong bangku itu
lihat golak jiwa kamu
lihat tanya mata kamu

ya tak biasa saja untuk aku
lihat kamu sama diam
jadi teman

jogja, 5 november 2009

***

07 November 2009

rindu untuk satu nama

rindu,
susah untuk ungkap
nama kini hanya nama
tampak biasa
dulu gebu semangat
baca hidup
langkah berarak debu
ribu langkah seperti tak cukup
senyum simpan juta makna
buat detak jantung cepat

lalu waktu itu telah lalu
lalu waktu hapus kamu
hingga semangat tinggal kata
langkah tanpa suara
senyum simpan juta tanya
rasa,
aku coba baca kamu
ragu
larut dalam tanya
belum ada jawab

tak tahu, kamu
aku mereka
rindu
kamu

Jogja, 4 November 2009

***

SEMANGAT, jangan tinggalkan aku lagi!!!

Akhir-akhir ini, aku merasa ada yang kosong di salah satu ruang hidupku, suatu ruang yang dulu selalu terisi oleh suatu hal. Kutelisiklah, siapa yang melarikan diri dari ruang hidupku itu. Setelah melalui penyelidikan yang cukup lama dan mendalam, dan berdasarkan jejak-jejak serta sidik yang ada, serta wawancara dengan berbagai penghuni lain dalam ruang hidupku, dan juga dengan pihak luar, dapat kuidentifikasi bahwa yang menghilang itu adalah si “semangat”!

Si “semangat” telah memutuskan untuk pergi dari ruang-ruang hidupku. Aku pun mencoba menyelidiki apa yang menyebabkannya tampak pergi begitu saja tanpa pamit, seperti tak pernah tahu adab perijinan.

Awalnya aku menyalahkan keadaan. Tapi, itu menyalahi teori bahwa keadaan itu tak pernah salah. Jadi, pasti sumbernya ada dalam diriku. Suara-suara tudingan dari para penghuni lain di ruang-ruang hidupku mulai mengganggu keselarasan pendengaranku. Semuanya berebut mengemukakan kritikan terhadapku.

Si ‘bingung’ mengatakan, “Sepertinya kamu terlalu pilih kasih akhir-akhir ini. Maaf sebelumnya, tetapi aku merasa aku terlalu kau sayang. Sayangmu kepadaku sangat jauh melebihi sayangmu pada si ‘semangat’. Tidakkah kamu merasakannya?”

Lalu si ‘ragu’ menimpali, “Iya, aku juga merasa, kamu terlalu sering ngobrol denganku. Kadang aku sampai heran melihatmu betah berjam-jam melayani pertanyaan-pertanyaanku, sementara si ‘semangat’ hanya menjadi orang ketiga di antara kita yang tak pernah kita ajak ngobrol. Bukankah si semangat itu pastinya sangat berharap untuk kau tanyai kabarnya juga? Kau harusnya tahu-lah, si ‘semangat’ itu kan pendiam, jadi harus kausapa lebih dulu.”

Si ‘sedih’ berkata, ”Akhir-akhir ini kamu sangat sering mengundangku hadir setelah kamu berbincang dengan si ‘ragu’ dan si ‘bingung’. Dan kadang aku merasa, pujianmu kepadaku terlalu berlebihan. Kamu nggak pernah tahu ya, kalau si ‘semangat’ kadang juga sering memujiku akhir-akhir ini?”

Si ‘malas’ angkat bicara, “Sebenarnya aku nggak mau membela siapapun, karena justru aku bahagia dengan kepergian si ‘semangat’. Aku hanya ingin kau tahu, bahwa antara aku dan ‘semangat’ ada perseteruan sengit, yang sudah berlangsung sejak kelahiranmu. Menurutku pantas saja si ‘semangat’ pergi tanpa pamit padamu. Jelas-lah dia cemburu dan marah karena melihatmu memanjakanku.”

Si ‘kecewa’ mendesakku, “Saat ini kau nggak pantas memujiku karena kepergian si ‘semangat’ yang tampak tanpa pamit. Tapi harusnya kau memujiku karena kesalahan dirimu sendiri. Menurutku si ‘semangat’ itu pastinya sudah pamit padamu, tapi kau tak menghiraukannya. Akhir-akhir ini kau tak pernah menghiraukan sapaan si ‘semangat’. Kau tak mendengar saat ia tersenyum dan bertanya ‘apa kabarmu hari ini?’. Kau melewati begitu saja ruangannya tanpa menoleh sedikitpun padanya. Kau tak tahu saat ia ngobrol dengan si ‘sedih’ dan mengeluarkan air mata karena merasa tak kau pedulikan. Ia pernah ngobrol denganku untuk menerjemahkan perasaannya. Kukatakan padanya bahwa mungkin ia terlalu pendiam sehingga kehadirannya tak kausadari. Memang, akhir-akhir ini sepertinya kau terlalu sibuk memintaku menerjemahkan perasaanmu. ”

Aku menyela mereka, “OK, aku telah mendengar tanggapan kalian. Lalu, apa yang harus kulakukan agar si ‘semangat’ mau menjaga ruang hidupku lagi? Sementara, aku tak tahu entah kemana perginya.”
Si ‘bingung’ berkata, “Kau memanggilku?”
“Tidak ‘bingung’, jangan ajak ngobrol aku dulu saat ini,” pintaku.
“OK, aku akan tetap terjaga sampai kau temukan jawabannya,” jawab si ‘bingung’.
“Oh, tidak…”, pikirku.

Lalu datang si ‘empati’, “Sepertinya, kau bisa minta tolong si ‘syukur’ untuk menghubungi si ‘semangat’. Si ‘semangat’ sangat akrab dengan si ‘syukur’. Kulihat, dulu mereka sangat sering bersama kemanapun pergi. Tampaknya kau perlu segera minta tolong pada si ‘syukur’ sebelum ia juga memutuskan untuk pergi seperti si ‘semangat’. Soalnya, akhir-akhir ini, ia juga sering ngobrol sama si ‘sedih’ dan si ‘kecewa’. Bisa jadi, itu karena kau tak pernah mendengarkan pendapat si ‘syukur’.”
Ya, aku terlalu sibuk dengan si ‘bingung’, ‘ragu’, ‘sedih’, ‘kecewa’, dan jarang menyapa si ‘syukur’ dan ‘semangat’. Harusnya aku mendengarkan pendapat si ‘syukur’, dan juga menanyakan kabar si ‘semangat’ setelah aku ngobrol dengan si ‘bingung’, ‘ragu’, ‘sedih’, maupun ‘kecewa’. Karena nyatanya, semua keraguan dan peristiwa yang kualami ini membawaku menuju ke sesuatu yang sebenarnya aku butuhkan.

“Akhirnya kau memanggilku! Terima kasih! Aku akan dengan senang membantumu!”
Si ‘syukur’?!
Si ‘syukur’ memojokkanku dengan pertanyaan-pertanyaan retorisnya, “Kurasa akhirnya kau mengerti. Kau sedih karena si ‘semangat’ telah pergi? Apakah hidupmu mulai membosankan tanpa si ‘semangat’? Apakah pekerjaanmu mulai tampak biasa saja tanpa si ‘semangat’? Apakah kau mulai merasa hidupmu tak luar biasa tanpa si ‘semangat’? Apakah kau mulai merasa tak ada bedanya antara bangun tidur dan berangkat tidur? Apakah kau mulai merasa tak ada bedanya antara sakit dan sehat? Apakah kau mulai merasa waktu begitu cepat berlalu sedang kau masih terpaku di tempat dudukmu? Apakah kau mulai merasa kuliah, kerja, dan hidupmu ini suatu ‘tuntutan’? Apakah kau mulai merasa bahwa sepertinya hidupmu sampai kematianmu akan biasa saja? Apakah kau mulai tersiksa dan merasa tertuntut dengan semua rutinitasmu? Apakah kau mulai merasa bahwa kau akan terlindas oleh sejarah? Apakah kau merasa suntuk tanpa si ‘semangat’? Apakah kau mulai merasa tak ada bedanya antara ‘melihat’ dan ‘melakukan’? Apakah kau mulai merasa segalanya hancur dan reruntuhannya menimpamu? Apakah kau mulai mengandaikan bisa sembunyi dari Tuhan? Apakah kau mulai merasa semua ilmu tampak biasa saja? Apakah kau mulai merasa kau tak pantas memperoleh semua priviledge sebagai manusia, tanpa si ‘semangat’?” si ‘syukur’ menatapku beberapa detik.
Kukatakan, “Aku ingin si ‘semangat’ kembali menjaga ruang hidupku. Aku membutuhkannya.”

Si ‘syukur’ menjawab, “kau tak menyadari siapa yang ada di belakangku ini? kuhadirkan si ‘semangat’ untukmu.”

Pengalaman memahami perbedaan antara kesadaran dan kebiasaan ini mungkin bukan hal baru bagi sebagian besar orang, tetapi ini hal baru bagiku. Dan mungkin, yang bisa memahami ini hanya orang-orang yang juga sudah mengalami hal seperti yang sudah kualami. Dan sangat mungkin, ini adalah hal klise bagi yang belum pernah mengalaminya.
Aku menyadari, ternyata dulu aku belum menyadari makna dan manfaat “semangat”. Dulu ‘semangat’ adalah hal klise bagiku. Bahkan aku tak menyadari bahwa aku dulu begitu bersemangat. Mungkin, dulu SEMANGAT hanya menjadi kebiasaan dalam hidupku, yang tak kutahu maknanya. Hingga setelah ia pergi, lama baru kusadari manfaatnya.
Semoga SEMANGAT betah tinggal di ruang hidupku mulai detik ini, dan untuk selamanya.

saat sepi menari untukku ( setelah kuajak pulang karena kasihan melihatnya “menari di tepi jalan”),
31 Oktober 2009
20:48 (jam kelebihan 35 menit)


***

29 Oktober 2009

mendengar "Mendengar"

Adalah hal esensial yang sering terlupakan. “Mendengar” sering tak sengaja didengar tapi sangat jarang diri benar-benar mau mendengar tentang “Mendengar”. “Mendengar” adalah hal klise bagi sebagian diri. “Mendengar” kadang dianggap sebagai hal yang sudah sangat dikenal, sebagai hal yang sudah melekat dalam diri, yang tak perlu diterjemahkan lagi, sampai-sampai kadang “Mendengar” terlupakan, tak pernah disapa, tak pernah diajak ngobrol, diabaikan sebagai hal yang sangat biasa dan tak penting, just an ordinary thing. “Mendengar” sudah sering tak didengar ucapannya. Segala usulan “Mendengar” dianggap usulan tak penting, tak kreatif, tak inovatif, tak perlu dipedulikan.

“Mendengar” terkalahkan oleh pikiran dan mulut yang sok manis, yang merasa ungkapan-ungkapan yang keluar darinya adalah hal terindah dan tersejuk yang paling perlu didengar.

“Mendengar” terkalahkan oleh pikiran dan mulut yang sok intelek, yang merasa bahwa ungkapan-ungkapan yang keluar darinya adalah ide cemerlang luar biasa kreatif dan inovatif yang paling perlu didengar dan direnungkan.

“Mendengar” terkalahkan oleh pikiran dan mulut yang sok tertindas, yang merasa bahwa ungkapan-ungkapan yang keluar darinya adalah keluhan dan kritik luar biasa membangun yang paling perlu didengar, dipedulikan, dan direnungkan.

“Mendengar” terkalahkan oleh pikiran dan mulut yang sok tahu, yang merasa bahwa ungkapan-ungkapan yang keluar darinya adalah pengetahuan luar biasa penting yang paling perlu didengar dan diketahui.

“Mendengar” terkalahkan oleh pikiran dan mulut yang sok paham, yang merasa bahwa ungkapan-ungkapan yang keluar darinya adalah ungkapan empati paling luar biasa empati yang paling perlu didengar dan didahulukan.

“Mendengar” terkalahkan oleh pikiran dan mulut yang sok penting, yang merasa bahwa ungkapan-ungkapan yang keluar darinya adalah yang butuh porsi ruang dan waktu yang paling besar.

“Mendengar” terkalahkan oleh pikiran dan mulut yang sok ahli debat, yang merasa bahwa ungkapan-ungkapan yang keluar darinya adalah alasan-alasan yang paling penting atas pentingnya suatu hal, yang paling perlu didengar dan dimenangkan.

“Mendengar” terkalahkan oleh pikiran dan mulut yang sok dewasa, yang merasa bahwa ungkapan-ungkapan yang keluar darinya adalah untaian mutiara-mutiara hikmah yang paling menyadarkan yang paling perlu didengar dan direnungkan.

“Mendengar” terkalahkan oleh pikiran dan mulut yang sok tajam, yang merasa bahwa ungkapan-ungkapan yang keluar darinya adalah analisis luar biasa logis sistematis yang paling jelas dan paling perlu didengar dan paling butuh pembenaran.

“Mendengar” terkalahkan oleh pikir dan mulut yang sok merdu, yang merasa bahwa ungkapan-ungkapan yang keluar darinya adalah irama-irama paling sejuk dengan intonasi paling pas dan paling perlu didengar.

“Mendengar” terkalahkan oleh pikir dan mulut yang sok sibuk, yang merasa bahwa mendengar “Mendengar” hanya menyiakan waktunya.

“Mendengar” terkalahkan oleh pikir dan mulut yang sok-sok-an.

Manamungkin bisa terdengar, jeritan lirih “Mendengar” yang kekurangan energi karena direbut oleh pikiran dan mulut yang sok, di tengah ramai bisingnya suara pikir dan mulut yang sok.

(mencoba mendengar jeritan lirih “Mendengar” dalam diri)


***

22 Oktober 2009

sistem 'cinta'

setiap orang boleh mendefinisikan ‘cinta’
tapi kutemukan definisi ‘cinta’-ku dalam dirimu

boleh saja setiap orang membuat sistem cinta
yang dilengkapi dengan sekumpulan aksioma ‘cinta’-nya
tapi saat mengingatmu, ku selalu tak bisa menghentikan diriku
merumuskan aksioma ‘cinta’-ku

boleh saja orang-orang membuat teoremanya sendiri tentang ‘cinta’
tapi ku selalu menemukan teorema ‘cinta’ yang baru
dari sekumpulan aksioma ‘cinta’-ku

karena sekumpulan aksioma, definisi, teorema, dan corollary-mu
membentuk sistem yang sempurna bagiku
setiap orang boleh mencari kelemahan sistem ‘cinta’-ku
tapi kutahu ada auto recovery dalam sistem ‘cinta’-ku itu

***

21 Agustus 2009

Cinta bukan sekedar kata

Cintailah Allah sebelum kau mencintai yang lain…
Ungkapan itu dulu begitu abstrak bagiku. Dulu aku selalu memaksa diriku untuk bisa memahaminya. Selalu kucoba untuk mengertinya… membayangkan bahwa aku harus menghormati, tunduk, cinta, patuh, dan mengingat sosok Allah… Maaf jika kusebut sosok, karena saat itu aku memang masih memahami Allah itu sebagai sosok…, yang tak kuketahui wujud-Nya seperti apa.
Dulu, yang ada dalam bayanganku adalah bahwa Ia sangat Besar karena ia Maha Besar, Maha tinggi, maha suci, maha segala-galanya… tak ada yang menandingi kebesarannya. Ia di atas segala-galanya. Pernah aku berpikir, dimana Ia duduk? dimana Ia berdiri? dimana rumahNya? Apakah di luar jagat raya ini? Ataukah ia melingkupi seluruh jagat raya ini? Lalu, sosoknya berupa apa? Lalu, ada yang bilang, Allah itu ada dimana-mana, tangan Allah ada dimana-mana. Baru saja aku mau mensintesa suatu pemahaman baru, terburu-buru ada yang meralatnya, bahwa katanya, yang benar adalah bahwa Allah itu tempat tinggalnya hanya satu, bersemayam di atas ‘arsy-Nya yang agung. Kembali aku berpikir, arsy : kursi. Berarti Allah duduk di atas singgasana yang super besar? dimana? Seperti apakah? Lalu kubaca buku, yang menurut analisis penulisnya, Arsy Allah itu terbuat dari ‘air’. Air? Segera saja otakku berimajinasi lagi membayangkan singgasana yang terbuat dari air, dan sangat megah… lalu di atasnya ada Allah.
Dulu saat masih TK, pernah terpikir, wujud Allah itu seperti manusia raksasa. Lalu, orang-orang bilang, Allah itu beda dari makhlukNya. Lalu aku pun meralat pemikiranku. Mencoba mereka-reka seperti apakah Allah itu? Lalu ada yang bilang bahwa cahaya Allah itu tak pernah redup, cahaya di atas cahaya…. Aku pun jadi berpikir, mungkinkah Allah itu bentuknya seperti bola cahaya yang terang benderang? Tetapi sekali lagi ada yang memarahiku karena katanya, bukannya cahaya itu juga makhluk ciptaan Allah? Kan Allah beda dari makhlukNya? Hah…. bingung lagi…. bingung lagi… Soalnya susah jika berdoa tanpa membayangkan ada sosok yang sedang mendengarkan doaku… Dan susah juga untuk mencerna kalimat, “La tahzan, innallaha ma’ana” tanpa membayangkan ada sosok yang sedang menyemangati dan terus memotivasiku.
Lalu, ada yang menghentikanku membayangkan sosok Allah, yaitu suatu pernyataan dari orang-orang bahwa manusia itu dilarang berpikir tentang zat Allah, karena hanya akan mejerumuskan manusia pada kesesatan. Saat mendengar hal itu, sebenarnya aku ingin bertanya, mengapa? kok bisa? Tapi, aku sadar kalau aku hanya mencari pembenaran atas pendapatku, jadi aku urungkan. Dan aku terus menipu diriku, bahwa aku mempercayai kebenaran pernyataan “tidak dibenarkan berpikir tentang zat Allah”. Dan itulah yang kujawab ketika temanku yang suka berpikir terlalu mendalam, menanyakannya padaku.
Tetapi, sesuatu yang terus ditekan di alam bawah sadar, nggak akan hilang, malah akhirnya akan mencuat dan meledak.
Suatu kali aku ngobrol dengan seorang teman yang pemahamannya tentang hidup dan kehidupan ini lebih luas dariku, dan dari perspektif yang beda juga dariku. Tak kusangka, ia bertanya, “bagaimana caramu mengingat Allah? Padahal, kamu belum pernah melihat sosok-Nya?”
Kupikir, iya juga ya? bagaimana caraku mengingat Allah? Jawabanku saat itu nggak jelas juntrungannya alias mbulet. haha…, biasa…. Tetapi jawaban temanku saat itu, masih kuingat sampai sekarang, “Mengingat Allah: dengan membaca, mempelajari, dan mengaplikasikan firman-firman-Nya di kitab suci dalam hidup dan kehidupan kita.”
Iya, saat itu, kenapa aku nggak kepikiran kesana ya? Padahal itu adalah jawaban yang sangat logis.
Saat itu aku nyeletuk, “iya ya? manusia kan tidak bisa melihat Allah?”
Temanku mengerutkan dahinya, “Tidak bisa melihat sosok Allah, memang iya. Tetapi manusia dikaruniai indera untuk bisa melihat kerja Allah, melihat hasil karya cipta Allah, melihat sistem Allah yang bekerja di alam semesta…., sistem yang sempurna…. Contohnya, adanya gaya gravitasi di bumi, rotasi planet-planet, revolusi planet-planet mengelilingi bintang, dan bahkan di sel tubuh manusia juga terdapat sistem ciptaan Allah yang sempurna, atau di atom-atom penyusun materi: terdapat sistem yang sempurna antara electron, neutron, ataupun proton.”
Lalu, bagaimana bentuk cinta manusia kepada Allah? Sahabatku menjawab, “dengan mengabdi kepada-Nya, tidak menyimpang dari sistem-Nya…, dan bila sistemNya telah dirobohkan, cintanya adalah dengan menegakkannya lagi….”
Dia melanjutkan, “Sistem Allah yang sempurna itu harusnya juga berlaku dalam kehidupan manusia. Tetapi, saat ini belum berlaku. Saat ini banyak manusia yang mengaku mencintai Allah melebihi apapun, tapi ia tak berbuat apapun untuk menegakkan kembali sistem Allah itu… Mungkin itu yang dimaksud dengan pernyataan alkitab bahwa : Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia (Mat,15: 8-9). Juga kata Al-Quran bahwa: Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelummu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut padahal mereka telah diperintahkan mengingkari thaghut itu, dan setan bermaksud menyesatkan mereka dengan kesesatan yang sejauh-jauhnya (QS 4:60)”

Lanjutnya, “Cinta itu tak cukup hanya diikrarkan di bibir saja, hanya sekedar kata, tetapi harus dibuktikan dengan tindakan, pengabdian kepada apa Yang dicintai, sesuai keinginanNya…”


***

29 Juli 2009

Karena aku bukan kamu…

sangat jelas bagiku…, tetapi tidak bagimu…
membingungkan bagiku…, tetapi tidak bagimu…
melelahkan bagiku…, tetapi tidak bagimu…
useless bagiku…, tetapi tidak bagimu…
menyedihkan bagiku…, tetapi tidak bagimu…
menyenangkan bagiku…, tetapi tidak bagimu…
mengecewakan bagiku…, tetapi tidak bagimu…
menyakitkan bagiku…, tetapi tidak bagimu…
membahagiakan bagiku…, tetapi tidak bagimu…
menyehatkan bagiku…, tetapi tidak bagimu…
mengenyangkan bagiku…, tetapi tidak bagimu…
menyegarkan bagiku…, tetapi tidak bagimu…
merugikan bagiku…, tetapi tidak bagimu…
menguntungkan bagiku…, tetapi tidak bagimu…
memalukan bagiku…, tetapi tidak bagimu…
membanggakan bagiku…, tetapi tidak bagimu…
megejutkan bagiku…, tetapi tidak bagimu…
menenangkan bagiku…, tetapi tidak bagimu…
menyejukkan bagiku…, tetapi tidak bagimu…
mencerahkan bagiku…, tetapi tidak bagimu…
relativis… ekstrim…

***

15 Juli 2009

Kecuali manusia

Langit malam bertabur bintang memberikan kedamaian tersendiri bagiku…. Di langit yang bertabur bintang itu…, aku melukiskan harapku…. Di langit bertabur bintang itu pula, gambaran tentang hidup dan kehidupan yang lebih baik… kutemukan… dan tiap kali kutatap langit yang bertabur bintang itu…, tumbuhlah lagi rasa optimis yang sebelumnya hampir meredup tertelan detik yang terus berjalan.

Ingin rasanya melakukan perjalanan ke langit…, mengelilingi Bumi, melesat mengitari Matahari…, menelusuri lintasan planet Merkuri, Venus, melompati lintasan Bumi, menatap dari dekat permukaan Mars, melihat dengan jelas Jupiter dengan semua satelitnya, mengitari cincin saturnus, melesat menuju Uranus, Neptunus, Pluto… meninggalkan tatasurya menuju bintang terdekat dengan Matahari, dan terus melaju menuju bintang-bintang yang lain di galaksi bimasakti. Dan ingin juga keluar menuju galaksi lain… Andromeda… menelisik apakah ada planet seperti planet Bumi di sana… dan terus melaju mengunjungi galaksi-galaksi yang lain… Tanpa henti… melihat dengan jelas gerakan memutar galaksi-galaksi itu… yang dengan anggunnya mereka bergerak serentak mengitari satu titik di alam semesta ini… dan ingin terbang lebih jauh lagi… keluar dari sistem-sistem galaksi ini… kalau ada… dan melihat sistem-sistem galaksi yang lain…. (kalau ada)…

Selalu kukagumi tatanan alam yang maha sempurna… Planet-planet berotasi pada porosnya… ia dilindungi oleh lapisan atmosfer yang melindunginya dari meteor-meteor atau benda-benda langit lain yang membahayakannya. Planet-planet juga bergerak mengelilingi satu bintang dan membentuk sistem. Planet-planet itu mendapat cahaya dari bintang yang dikelilinginya itu. Dan ada juga planet yang dikitari oleh satelit… yang memberikan cahaya kepada planet pada sisi yang membelakangi bintang. Bintang-bintang juga bergerak mengelilingi satu titik di galaksi, yang menjadi sistem yang indah bercahaya, yang tak terpisah dari sistem yang lebih besar lagi, yaitu: galaksi-galaksi yang mengitari satu titik di alam yang luas ini… yang juga membentuk sebuah sistem yang lebih besar lagi…, yang semua itu berjalan dengan teratur…, sesuai sistem yang telah dibuat oleh Tuhan… Semua teratur dan sangat disiplin… karena tak ada pengkhianat di dalamnya…

Tak ada bintang yang melampaui batas lintasannya… begitupun planet-planet… satelit…. komet… tak ada satupun benda angkasa yang berkhianat kepada sistem yang dibuat Tuhan… Tak ada satupun planet yang berpikir untuk mengambil jalan pintas dalam mengelilingi bintangnya… Bumi tak pernah berpikir untuk membelok arah rotasinya… Bumi juga tak pernah berpikir untuk mengambil lintasan Venus yang lebih pendek dari lintasan Bumi… Mars juga tak pernah berpikir untuk merebut lintasan Bumi… Alfa Centaury tak pernah berpikir untuk menendang dan menggantikan posisi Matahari… Andromeda tak pernah berpikir untuk menabrak Bimasakti… Mereka tak pernah berpikir untuk melakukan itu semua… karena mereka tak bisa berpikir… Tak ada yang bisa berkhianat di angkasa itu…. sehingga terciptalah susunan… sistem… yang maha teratur… Sama sekali tak ada yang bisa berkhianat terhadap aturan Tuhan di alam ini semesta ini… kecuali satu spesies Bumi yang sedang memikirkan mereka… spesiesku: manusia…

***

tinggal di sebuah panet milik Allah yang bernama Bumi

Suatu kali, aku ingin menginap di kos teman selama beberapa hari untuk suatu keperluan. Tak ingin diblacklist oleh pemillik kos, maka saat aku tiba di kos itu, aku langsung membaca dan kemudian mematuhi peraturan kos yang tertempel di dinding dekat pintu masuk kos itu… Peraturan itu tertulis pada selembar kertas yang dilaminating. Ada 14 poin peraturan yang harus dipatuhi penghuni kos. Peraturannya cukup rigid, jam malam, tatacara pembayaran, penggunaan fasilitas-fasilitas kos, tatakrama membawa teman ke kos… semua tertulis di selembar kertas itu…, dan disertai pula tanda tangan pemilik kos.

Yah… Memang, jika tidak ingin diblacklist oleh si pemilik tempat tinggal atau masyarakat di sekitar kita, caranya adalah dengan mematuhi peraturan yang berlaku di tempat itu.

Suatu tempat megah dan mewah yang sering dilupakan manusia adalah planet bumi. Jarang aku ingat bahwa aku sedang menapakkan kaki di sebuah planet milik Allah yang bernama Bumi. Jarang aku ingat bahwa rumahku dibangun di atas tanah di permukaan sebuah planet milik Allah yang bernama Bumi. Aku juga sering lupa kalau desaku terletak di salah satu bagian planet milik Allah yang bernama Bumi. Udara yang kuhirup juga adalah bagian dari atmosfer sebuah planet millik Allah yang bernama Bumi. Jarang aku ingat bahwa aku sedang tinggal di sebuah planet milik Allah yang bernama Bumi.

Karena aku tinggal di sebuah planet milik Allah yang bernama Bumi, harusnya aku juga membaca, mempelajari dan mematuhi aturan yang dibuat Pemilik planet yang bernama Bumi ini, yaitu Allah.
Bagaimana aku bisa memutuskan untuk lebih mematuhi aturan manusia lain yang menkhianati aturan Allah sementara aku dan manusia si pembuat aturan itu juga sama-sama tinggal di sebuah planet milik Allah yang bernama Bumi? Bagaimana aku bisa lebih takut di-blacklist oleh manusia pengkhianat aturan Allah daripada di-blacklist oleh Allah, sementara aku dan manusia itu sama-sama tinggal di sebuah planet milik Allah yang bernama Bumi?

Lalu, bagaimana orang-orang sekuler mau memisahkan system kehidupannya dari system Allah sementara ia tinggal di sebuah planet yang hak miliknya berada pada Allah?

***

19 Juni 2009

kampus hijau pun menguning

Tahun ini, kampus hijau sibuk. Orang-orang hijau yang baru turun dari kapal hijau diterjunkan untuk memberi warna hijau di kapal-kapal yang baru berlabuh yang berwarna merah, putih, hitam, kuning, ataupun biru.

Orang-orang hijau diberi modal cat hijau. Kapal-kapal pendatang pun segera setelahnya tampak hijau dan dipenuhi orang-orang hijau. Karena cat hanya mampu memoles warna permukaan, akhirnya muncullah orang-orang berpakaian hijau tetapi berjiwa pink, kuning, hitam, biru, dan sebagainya.

Salam hijau tersebar dimana-mana. Seseorang akan disebut hijau asalkan berpakaian hijau dan suka berbahasa hijau. Saat ini mulai dari yang berjiwa pink, merah, kuning, ungu ,sampai hitam pun berpakaian hijau. Semua kegiatan diberi embel-embel hijau. Atau, kalau nggak hijau, yang penting pelaksana kegiatannya orang-orang hijau. Mulai dari diskusi kecil-kecilan tingkat prodi sampai seminar tingkat nasional, dari penyambutan pendatang baru sampai pelepasan wisuda, orang-orang hijau ada di sana. Tak lupa selalu membawa cat hijau kemanapun perginya.

Hijau sekarang dijadikan warna penghias di setiap sudut kampus karena diyakini hijau adalah warna yang akan mengantarkan kepada kebahagiaan dan ampuh membentengi diri dari siksa.

Buku hijau ada di dalam tas orang-orang hijau. Atau karena dianggap saking sucinya, makanya buku hijaunya cuma ditaruh di rak paling atas atau bahkan di atas almarinya yang berdebu biar nggak ada yang menandingi ketinggian dan kemuliaannya.

Selalu digembar-gemborkan bahwa buku hijau itu isinya bukan syair, bukan pula sihir ataupun mantra. Tetapi tetap saja di rumah-rumah hijau, atau di pondok-pondok hijau orang-orang hijau belajar mensyairkan isi buku hijau. Komplit bin njlimet. Mulai dari panjang pendek pengucapan, hukum-hukum bacaan, bacaan-bacaan dengan ketentuan-ketentuan khusus, sampai lagu-lagu bacaan yang aduhai. Semuanya tampak indah karena dilakukan orang-orang hijau. Lomba hijau melagukan isi buku hijau pun jadi event besar di negeri dengan penduduk hijau paling banyak ini.

Padahal, katanya buku hijau itu berisi hukum-hukum tentang hidup dan kehidupan semesta. Tetapi dari pengeras suara di rumah-rumah hijau tiap hari Jumat siang yang terdengar adalah suara orang hijau mendendangkan isi buku hijau itu. Lucu. Hukum kok didendangkan. Bayangkan saja seandainya teks UUD ’45 dijadikan lagu lalu tiap hari Senin dinyanyikan dan nggak pernah dijalankan hukumnya. (^_^)

Karena katanya buku hijau itu susah dipahami, terlalu suci untuk ditafsirkan, maka yang terjadi di pondok-pondok hijau, pelajaran tentang hukum hijau malah bersumber dari buku-buku kuning tulisan tangan manusia. Kalau mau memahami buku hijau, ya pelajari dari tafsir kuning.

Maka yang lahir ya orang-orang hijau tadi..., berpakaian hijau, bermulut hijau, tapi berpemikiran kuning. Bahkan kalau diamat-amati, pakaian mereka semakin kuning saja, ada yang makin lebar, dan ada yang makin congklang.

Ya. Kampus hijau sibuk. Orang-orang hijau sibuk berdiskusi tentang hukum kuning. Judulnya sih mau menegakkan hukum hijau, tapi isi dan oututnya tetap saja hukum kuning. Judulnya sih mau menegakkan khilafah hijau, tetapi isi dan outputnya tetap saja khilafah kuning. Orang-orang hijau tak mau membedakan warna kuning dengan hijau. Bagi mereka, kuning itu ya hijau, hijau itu ya kuning. Mungkin orang-orang hijau telah buta warna.

Buku kuning itu sudah dianggap wakil dari buku hijau. Orang hijau yang hafal dan menjalankan seluruh isi buku kuning dianggap sebagai orang hijau kelas beringin yang berilmu tinggi. Orang sedikit skeptis yang menanyakan konten buku kuning yang tak masuk akal, yang tak tercantum di dalam buku hijau, selalu disodori pernyataan turun-temurun bahwa penulisan buku kuning itu butuh perjuangan keras, pencarian dan penelusuran kebenaran dari orang-orang hijau kelas beringin yang diakui kehijauannya, dan tak ada keraguan padanya. Padahal apa yang bisa menghalangi mulut manusia hijau sekalipun dari kesalahan periwayatan dan dari kebohongan? Bukankah tak ada manusia yang sempurna?

Orang sedikit skeptis pun akhirnya menipu akalnya sendiri untuk menerima konten buku kuning itu meski akalnya pengen muntah. Orang yang mempelajari buku hijau murni tanpa pendampingan buku kuning justru dicap sesat, ditangkap sampai dihukum mati.
Orang hijau kelas beringin berpemikiran kuning sudah seperti tuhan baru bagi orang-orang hijau kelas akar rumput. Ke arah mana angin meniup daun-daun beringin…, ke arah itu pula rerumputan mencondongkan daunnya. Padahal, bukan angin hijau yang bertiup, melainkan angin kuning karena membawa uap air kuning.

Kalau mau dicermati lebih detil lagi, ternyata orang-orang hijau di kampus hijau yang membawa cat hijau kemanapun pergi, juga membawa berbotol-botol air kuning untuk menumbuhkan pemikiran-pemikiran kuning pada diri orang-orang hijau yang baru.
Dimana-mana orang hijau tetap saja seperti itu, membawa air kuning kemanapun pergi. Karena air kuning itu tak bisa mengobati rasa haus, orang-orang hijau selalu saja haus. Mereka mencari-cari air di tempat-tempat yang biasanya ada air. Air yang dicari ya air kuning, yang dibungkus dengan wadah hijau. Bahkan film pink atau biru sekalipun, asalkan judulnya diberi embel-embel hijau, segera laris di pasaran hijau. Contohnya ya film tentang cinta yang kehijau-hijauan itu. Tak peduli air yang direguk dari sana warnanya kuning bahkan hitam pekat. Dalam pikiran kuning orang hijau, whatever-lah, yang penting niatnya, dan asiknya, rame-rame….


***

17 Juni 2009

Sajak Palsu

Karya: Agus R. Sarjono

Selamat pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah
dengan sapaan palsu. Lalu merekapun belajar
sejarah palsu dari buku-buku palsu. Di akhir sekolah
mereka terperangah melihat hamparan nilai mereka
yang palsu. Karena tak cukup nilai, maka berdatanganlah
mereka ke rumah-rumah bapak dan ibu guru
untuk menyerahkan amplop berisi perhatian
dan rasa hormat palsu. Sambil tersipu palsu
dan membuat tolakan-tolakan palsu, akhirnya pak guru
dan bu guru terima juga amplop itu sambil berjanji palsu
untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan
nilai-nilai palsu yang baru. Masa sekolah
demi masa sekolah berlalu, merekapun lahir
sebagai ekonom-ekonom palsu, ahli hukum palsu,
ahli pertanian palsu, insinyur palsu.
Sebagian menjadi guru, ilmuwan
atau seniman palsu. Dengan gairah tinggi
mereka menghambur ke tengah pembangunan palsu
dengan ekonomi palsu sebagai panglima
palsu. Mereka saksikan
ramainya perniagaan palsu dengan ekspor
dan impor palsu yang mengirim dan mendatangkan
berbagai barang kelontong kualitas palsu.
Dan bank-bank palsu dengan giat menawarkan bonus
dan hadiah-hadiah palsu tapi diam-diam meminjam juga
pinjaman dengan ijin dan surat palsu kepada bank negeri
yang dijaga pejabat-pejabat palsu. Masyarakatpun berniaga
dengan uang palsu yang dijamin devisa palsu. Maka
uang-uang asing menggertak dengan kurs palsu
sehingga semua blingsatan dan terperosok krisis
yang meruntuhkan pemerintahan palsu ke dalam
nasib buruk palsu. Lalu orang-orang palsu
meneriakkan kegembiraan palsu dan mendebatkan
gagasan-gagasan palsu di tengah seminar
dan dialog-dialog palsu menyambut tibanya
demokrasi palsu yang berkibar-kibar begitu nyaring
dan palsu.

1998


***

14 Juni 2009

Logos Membela Sang Utusan...

Tak disangka, ternyata bisa juga belajar dari humor terbongkarnya kebohongan seseorang yang mengaku buta....
"Nak..., kemarilah. Aku ingin meminta bantuanmu...," pinta si Buta.
"Apa yang bisa kubantu Pak?" tanya si anak.
"Aku minta tolong, tolong tuliskan di secarik kertas: 'Namaku si Buta dari Goa'..." kata si Buta.
"Baiklah...." kata anak itu yang kemudian langsung mengambil secarik kertas dan menuliskan di kertas itu: 'Namaku si Buta dari Goa Hantu'...
"Sudah selesai? Berikan padaku...," pinta si Buta.
Anak itu pun sambil nyengir memberikan kertas itu pada si Buta.
Si Buta kaget menerima tulisan itu....
"Lho..., kok?! Harusnya nggak ada kata 'hantu'-nya...," si Buta pun menghapus tulisan 'hantu' itu sendiri... (^_^)
Dan sejak itu terbongkarlah kebohongan si Buta...

Seorang utusan .... menerima mitos bahwa dia adalah seorang yang buta huruf... (yang diterjemahkan dari kata 'ummi'...) dengan alasan : kisah penulisan Perjanjian Hudaibiyah...

Ada suatu relasi antara kisah penulisan perjanjian Hudaibiyah itu dengan humor di atas...
Andaikan saja 'utusan' itu memang buta huruf...., kisah ini akan tampak lucu....
(kisah di bawah ini dikutip dari Sirah Nabawiah karya Shafiyurrahman Al-Mubarakfury halaman 445)

Beliau memanggil Ali bin Abu Thalib untuk menulis isi perjanjian ini. Beliau mendiktekan kepada Ali: Bismillahir-rahmanir-rahim...
Suhail menyela, "Tentang Ar-Rahman, demi Allah aku tidak tahu siapa dia. Tetapi tulislah: Bismika Allahumma."
Maka Nabi memerintahkan Ali untuk menulis seperti itu. Kemudian beliau mendiktekan lagi, "Ini adalah perjanjian yang ditetapkan Muhammad, Rasul Allah."
Suhail menyela, "Andaikan saja kami tahu bahwa engkau adalah rasul Allah, tentunya kami tidak akan menghalangimu untuk memasuki Masjidil Haram, tidak pula memerangimu. Tetapi tulislah: Muhammad bin Abdullah."
Beliau bersabda, "Bagaimana pun juga aku adalah Rasul Allah sekalipun kalian mendustakan aku."
Lalu beliau meminta Ali untuk menulis seperti usulan Suhail dan menghapus kata-kata Rasul Allah yang terlanjur ditulis. Namun Ali menolak untuk menghapusnya. Akhirnya beliau yang menghapus tulisan itu dengan tangan beliau sendiri..." (^_^)

...utusan itu menghapus tulisan yang dianggapnya perlu dihapus... dengan tangannya sendiri...

....
"Dan di antara mereka ada yang ummi..., tidak mengetahui al-Kitab kecuali sebagai dongengan bohong belaka, dan mereka hanya menduga-duga" (QS. Al-Baqarah:78)


***

11 Juni 2009

bahagia itu...

Ada yang bilang,
bahagia itu... uang
bahagia itu... kursi
bahagia itu... wanita
bahagia itu... pria
bahagia itu... IPK
bahagia itu... lulus
bahagia itu... sekolah
bahagia itu... kuliah
bahagia itu... bekerja
bahagia itu... anak
bahagia itu... ibu
bahagia itu... bapak
bahagia itu... rumah
bahagia itu... alam
bahagia itu... senyum
bahagia itu... air mata
bahagia itu... pikiran
bahagia itu... hati
bahagia itu... sehat
bahagia itu... juwita
bahagia itu... harapan
bahagia itu... setyo
bahagia itu... persahabatan
bahagia itu... cita
bahagia itu... mereka
berjuta kata mewakili bahagia...
dan tentu saja, bahagia itu... kamu

***

10 Juni 2009

Muhammad buta huruf....? Mungkinkah...?

Seorang Muhammad lahir ketika pendidikan di Arab adalah hal yang sangat diperhatikan...
Seorang Muhammad lahir saat sya'ir menjadi nafas bangsa Arab...
Seorang Muhammad adalah cucu seorang Abdul Muthalib...,
adalah seorang keponakan dari Abu Thalib...
dua orang "guru" yang tentunya mahir baca tulis...
(thalib-thalaba-thulaby)
Mungkinkah seorang Abdul muthalib membiarkan cucu yang diasuhnya tak mengenyam pendidikan sama sekali....
Mungkinkah seorang Abu Thalib membiarkan keponakan yang diasuhnya tak mengerti baca tulis...?
Seorang Muhammad juga adalah tangan kanan bisnisnya Khadijah...
Muhammad adalah seorang entrepreneur muda yang profesional...
Sudah menjadi syarat bahwa seorang rasul pastilah cerdas dan berpemikiran lebih maju dari umatnya...
Mari mencari celah..., apakah mungkin seorang Muhammad buta huruf...?
Allah menjelaskan yang dimaksud dengan kata "ummi" di QS 2:78....

***

07 Juni 2009

mencari....

mencari itu adalah perjalanan...

mencari itu butuh waktu...
mencari itu butuh mencoba...
mencari itu butuh kesalahan...
mencari itu butuh keraguan...
mencari itu butuh pemikiran...
mencari itu butuh kemauan keras...
mencari itu butuh keberanian mengakui kesalahan...
mencari itu butuh fleksibilitas...
mencari itu butuh toleransi...
mencari itu butuh kesediaan untuk berpindah...

mencari itu tak butuh kesombongan...
mencari itu tak butuh kemarahan...
mencari itu tak butuh fanatisme...
mencari itu tak butuh ekstrimisme...
mencari itu tak butuh kalimat "milikku paling sempurna"...
mencari itu tak butuh kalimat "melihat saja sudah cukup"...
(Meski sombong, marah, fanatik, ekstrim, selalu menghambat pencarian...)

karena mencari itu adalah meninggalkan, mencoba, meninggalkan, mencoba, barangkali sampai n kali, baru bisa memilih...


***

05 Juni 2009

selamat tinggal...

selamat bekerja wahai orang-orang yang gila kerja...
selamat menuai kesibukan wahai orang-orang yang gila kesibukan...
selamat memanen amanah dan tanggung jawab wahai orang-orang yang selalu mengemis amanah...
selamat berbangga dengan derap langkah yang dikejar waktu, nafas yang memburu, dan keringat yang bercucuran wahai orang-orang yang baginya tiada hidup tanpa karya dan kesibukan...
biarlah diri mengucapkan selamat tinggal kpd semua kesibukan itu...
biarlah diri mencari hakikat kehidupan yang hakiki...
bukan pendakian kosong yang hanya menyisakan kelelahan...
biarlah diri menanggalkan semua simbol kebanggaan itu...
menanggalkan ribuan derap langkah yang dikejar waktu...
menanggalkan semua desah nafas yang memburu...

***

31 Mei 2009

kenapa sih?

Kenapa sih, manusia terlalu sombong untuk mengakui kesalahan diri?
Manusia selalu saja gengsi untuk mengakui kebenaran orang lain...,

Apakah memang keyakinan itu sesuatu yang sudah tidak bisa lagi diganggu gugat?
MENGAPA "ragu" tak boleh mengunjungi keyakinan itu?
MENGAPA mempertanyakan keyakinan dianggap salah?
MENGAPA sekadar untuk nge-cek apakah keyakinan ini benar atau salah saja dipersalahkan?
Kenapa sih? kalau memang jelas benar, mengapa banyak yang mempertanyakannya?

Selalu saja manusia menggembar-gemborkan tentang bahwa keyakinannya-lah yang paling benar, bukan sekedar doktrin, bukan taklid. Kalau nyatanya manusia hanya menerima saja tanpa memikirkannya lagi, sekedar percaya kepada yang memberikan tanpa menge-cek ke "sumber" kebenaran mutlak, ya apa bedanya dengan doktrin? apa bedanya dengan taklid?

bukankah saat ragu itu artinya sedang ada proses berpikir? melarang manusia untuk ragu, bukannya sama saja melarang manusia untuk berpikir? apa bedanya dengan pembodohan? penumpulan otak? katanya "pendidikan"? katanya "pembinaan"?

kenapa sih?

26 Mei 2009

Salesman di Toko Roti

Dulu, sepertinya kami tak merasa lapar. Tetapi entah mengapa, orang tua kami mengantarkan kami ke Toko Roti. Di sana kami harus makan roti yang dijual oleh Toko Roti itu. Di toko itu ada banyak pelayan, penjual roti yang menawarkan rotinya kepada kami. Sebutlah para penjual roti itu para ’salesman’.

Orang tua kami sangat percaya kepada para salesman itu. Urusan makan kami pun dipercayakan kepada para salesman itu. Aneh memang. Setiap hari kami meluangkan waktu kami, dari jam 07.00 – 13.30, dan itu berlangsung lebih kurang selama 12 tahun, kecuali hari Minggu dan hari-hari libur. Kami benar-benar meluangkan waktu kami itu, hanya untuk pergi ke toko roti. Orang tua kami tidak lupa memberi kami uang saku untuk biaya transport kami ke toko roti. Bahkan, orang tua kami juga sudah membayar di muka, dan ada yang tiap bulan rutin membayar ke toko roti itu. Semua itu dilakukan agar gizi kami terjaga, agar kami bisa mendapatkan paket roti untuk bekal hidup kami nanti.

Kadang kami tidak merasa lapar, dan malas. Tapi bagaimanapun, kami harus selalu pergi ke toko roti itu. Seolah-olah toko roti itulah hidup kami. Kadang kami merasa, orang tua kami berharap terlalu besar dari toko roti itu. Ada benarnya juga sih, karena dengan gizi yang baik, kami akan sehat, dan aktivitas kami pun bisa berjalan dengan baik.

Sebenarnya, mungkin kami lapar, tetapi kami belum bisa menyadarinya. Para salesman, dan bapak ibu kami selalu berpesan, ”Pergi ke toko roti itu penting karena di sana kamu akan mendapatkan roti untuk bekal hidup kamu.”

Kadang kami bertanya-tanya, ”Mengapa harus pergi ke toko roti kalau hanya untuk makan roti? Bukankah di rumah, ibu juga bisa membuat roti dan kemudian memberikannya untuk kami? Bahkan di rumah kita bisa makan roti bersama keluarga?”

Namun, selalu saja dijawab, ”Kami sibuk, tidak bisa membuatkan roti untukmu, apalagi menemanimu makan roti. Pergilah ke toko roti itu. Carilah roti di sana sebanyak-banyaknya”.Hmmmph...., akhirnya, kami mencoba untuk nurut. Kami rajin pergi ke toko roti, untuk mendapatkan roti di sana. Ada roti yang harus kami makan di sana, dan ada juga roti yang harus kami bawa pulang, untuk kami makan di rumah.

Orang tua kami sangat percaya kepada para salesman di toko roti itu, begitu juga kami. Mungkin bahasa salesman itu sangat meyakinkan bagi kami, mungkin juga bimbingan dan arahan para salesman itu terlalu jelas bagi kami, atau mungkin tak terlalu jelas tetapi kami jalani begitu saja sarannya.

Kami tak bisa menolak paket roti yang diberikan oleh para salesman itu. Nggak sopan.... Dan lagipula, kami sangat percaya kepada para salesman itu. Kami yakin roti yang diberikannya itu adalah roti-roti bergizi, yang menyehatkan badan kami. Kami tak pernah berprasangka macam-macam. Rasanya di lidah kami juga enak-enak saja. Kadang, ada juga sih, roti yang agak susah kami telan, bahkan sampai ingin muntah. Namun karena percaya bahwa roti-roti itu bergizi, maka kami selalu berusaha menghabiskannya.

Setelah 12 tahun berlalu, toko roti itu menyatakan sudah tidak ada lagi roti yang pantas diberikan kepada kami.
Akhirnya, aku memutuskan untuk mencari tempat lain. Aku mencari roti yang bisa menjadikanku salesman roti. Aku ingin bekerja di toko roti. Orang tuaku pun memberiku uang saku, untuk pergi ke ’grosir roti’. Toko roti yang sangat besar. Salesman di sana, sebagian besar adalah orang yang sudah mengeerti bagaimana cara membuat roti, bermacam-macam roti.

Di grosir roti itu, aku dikenalkan dengan bermacam-macam roti, juga bahan-bahan yang digunakan untuk membuatnya, serta alasan mengapa roti-roti itu penting untuk hidupku.
Perlahan tapi pasti, aku mulai mengenal bahan-bahan penyusun roti. Aku benar-benar kaget mendapatkan kenyataan bahwa roti-roti yang dulu kumakan selama lebih kurang 12 tahun itu tak semuanya roti yang sehat dan bergizi. Ternyata ada beberapa roti yang mengandung pengawet, racun yang bisa membunuhku secara perlahan. Ada juga roti yang beragi, tampaknya besar, tetapi kandungan energinya sebenarnya cuma sedikit. Ternyata ada juga roti yang mengandung pemanis buatan, tak baik juga untuk kesehatanku. Mau bagaimana lagi? Roti-roti itu sudah terlanjur kutelan.

Kemudian aku mendapatkan sepaket roti yang merknya ”Filsafat Pendidikan Matematika”. Dengan makan roti itu, aku sadar, bahwa ternyata para salesman yang dulu melayaniku di toko roti itu tak sesempurna yang aku bayangkan. Aku juga jadi sadar, bahwa tugasku nanti, saat menjadi salesman di toko roti, tidaklah mudah. Hmmmph..., berat juga ternyata. Kesehatan ribuan pelanggan tergantung roti yang akan kuberikan pada mereka. Jadi, aku harus mengenal betul, mana roti yang bergizi, mana roti yang beragi, mana roti yang beracun. Kemudian, aku juga harus tahu roti seperti apa yang dibutuhkan pelangganku nantinya. Sebagai salesman, tugasku adalah melayani pelanggan dengan baik. Roti yang kuberikan nanti harus bisa menyeimbangkan perkembangan intelektual, emosional, dan spiritual mereka.

Tetapi, aku juga musti berhati-hati saat makan paket roti itu, harus memilah-milah, tapi juga nggak boleh setengah-setengah.

Sungguh, menjadi salesman roti itu bukan pekerjaan gampang. Apalagi dalam hal ini, roti adalah ilmu, dan toko roti adalah sekolah. Dan salesman, tentu saja gurunya.

24 Mei 2009

ini siang atau malam...........?

Dulu aku selalu tidak percaya saat ada sahabatku mengatakan: sekarang masih "malam".

Padahal matahari bersinar terang. Padahal orang-orang sibuk bekerja di kantor, di sawah, siswa dan guru beraktivitas di sekolah, mahasiswa sibuk kuliah di kampus, dan ada beberapa yang merencanakan demo. Partai sibuk kampanye, baik terselubung atau terang-terangan. Ya, physicly, ini siang.

Nggak siang, nggak malam, sahabatku selalu berkata: ini "malam".

Bingung aku jadinya. Sempat terpikir, mungkinkah sahabatku sudah gila?

Ia kemudian mengajakku melihat "arloji"nya. Ternyata, arlojinya memang menunjukkan waktu belum siang. Masih gelap, tapi hampir fajar. Sudah jam 03.30.
Kemudian, aku melihat lagi arlojiku. Arlojiku menunjukkan pukul 11.00, sebentar lagi waktunya makan siang. Itu arloji di tangan kiriku.

Ia kemudian berkata,"Coba lihat arloji di tangan kananmu."

Aku heran. Lama sekali aku tidak pernah melihat waktu di arloji di tangan kananku. Arloji di tangan kananku itu terlalu sulit dibaca. Aku menganggapnya arloji suci, arloji paling tepat waktu. Selalu berhati-hati mengenakannya. Jika masuk tempat-tempat yang tidak suci semacam toilet, aku harus melepaskannya dulu. Aku juga selalu diwanti-wanti oleh orang-orang di sekitarku:"Hati-hati dalam membaca dan menafsirkan arloji di tangan kananmu itu, bisa-bisa salah tafsir, sesat jadinya kamu, nggak tahu waktu". Tetapi, ironisnya, aku selalu diwanti-wanti supaya selalu membawa arloji itu kemanapun aku pergi. Walah-walah... bingung jadinya. Akhirnya, aku selalu memakai arloji itu..., di tangan kananku, tapi nggak pernah kulihat, cuma kupajang di tangan, pertanda bahwa aku bangga dengan "arloji" ini.

Ya, karena aku harus berhati-hati, maka aku diberi arloji lain untuk kukenakan di tangan kiriku. Mereka bilang, arloji ini adalah yang menjelaskan arloji di tangan kananku, waktu yang ditunjukkannya juga nggak berbeda dengan waktu yang ditunjukkan arloji di tangan kananku. Arloji di tangan kiriku itulah yang selalu kulihat untuk bisa mengetahui waktu.

Tetapi kemudian, aku diajak sahabatku untuk melihat dan mempelajari cara kerja arloji di tangan kananku itu. Ternyata sangat canggih dan revolusioner dibanding apa yang selama ini aku tahu dari orang-orang di sekitarku. Memang arloji di tangan kananku itu baru menunjukkan waktu pukul 03.30. Wow...

Lalu kulihat sekitar..., ternyata memang masih gelap. Tetapi herannya, orang-orang sangat sibuk bekerja. Pasar juga sangat rame, apalagi kampus. Kucermati mereka semua.

Adzan dzuhur berkumandang, dan serentak orang-orang yang sibuk bekerja itu menengok ke kiri,
.......ke arloji di tangan kiri mereka.
...

15 Mei 2009

jas merah-nya Bung Karno...

Siapa sangka Indonesia adalah eks peradaban luar biasa gemilang? Siapa sangka JAS MERAH-nya Bung Karno menyimpan pesan moral sangat dalam untuk kebangkitan bangsa?
Berikut saya nukilkan sebuah analisis tentang keberadaan Atlantis dan Lemuria, peradaban hilang yang mulai terkuak...:

ahmad chodjim:
Ini analisis dari saya saja setelah banyak membaca literatur tentang Daratan Lemurian dan Atlantis dari literatur Barat. Kesimpulannya, Daratan Lemurian adalah "lembah" yang sekarang menjadi laut antara Sumatra dan Kalimantan dan laut Jawa, yang dikenal sebagai Dataran Sunda. Delapan ribu tahun sebelum Masehi, terjadi pencairan besar terakhir Gunung es utara setinggi 300m sehingga menenggelamkan Dataran Sunda tersebut.

Sebelum lembah tersebut tenggelam posisi Sumatra, Kalimantan dan Jawa adalah bukit. Dan, di antara bukit itu yang paling subur adalah Bukit Jawa yang akhirnya menjadi Pulau Jawa. Jadi, dulu Bengawan Solo itu muaranya ya di Laut Sulawesi yang memang benar-benar laut yang amat dalam. Laut antara Kalimantan dan Sulewesi itu paling dangkal 1000 m dan terus ke tengah hingga 8000 m. Sedangkan Laut Jawa hanya berkisar 100 -300 m. Sebelum lembah itu hilang, memang peradaban dunia itu ada di Lembah Jawa (Dataran Sunda atau Lemurian).

Atlantis ada di mana? Menurut berbagai riset, Atlantis yang hilang itu ya berada di sekitar laut yang diapit oleh Afrika dan Eropa. Jadi, kalau di Alquran ada istilah "Kaum Ad", menurut orang Barat yang dimaksud ya penduduk Atlantis, dan bukti-bukti tenggelamnya kaum Ad itu semakin nyata.

Kalau sekarang ada kekuatan Eropa dan Asia dan dimenangkan oleh Eropa, maka menurut berbagai tulisan orang Barat, yang akan tampil adalah masyarakat ex Lemurian yang sekarang ini amburadul, tapi kemampuan spiritualnya semakin ditakuti Barat. Oleh karena itu, Barat secara umum berusaha menutupi akan bangkitnya masyarakat Kepulauan Nusantara. Dan, upaya itu telah dilakukan oleh Barat sejak zaman Negara Kahuripan.

Jadi, memasuki Milenium II alias seribu tahun yang lalu, kekuasaan Mataram yang semula di Jateng terus digempur meski telah pindah ke Jatim. Dan, penggempuran ini berhasil ketika Raja Airlangga membelah Mataram Kahuripan menjadi dua, yaitu Jenggala (Singosari) dan Panjalu (Kediri). Meskipun semasa Majapahit sempat dipulihkan kebesaran Mataram itu, namun rontok juga setelah 100 tahun. Lha, memang mangsa jayanya kan di Milenium III ini?

Kata Bung Karno: "Jas Merah" (jangan sekali-kali meninggalkan sejarah).

Suwun,

ahmad chodjim


sumber: Nabble-Spiritual Indonesia


***

14 Mei 2009

siklus peradaban

Pernahkah terpikir oleh anda bahwa beratus ribu tahun yang lalu di bumi pernah ada peradaban yang lebih canggih daripada peradaban kita sekarang?

Bagaimanapun juga, pada tahun 1972, ditemukan tambang reaktor nuklir berusia sekitar dua milyar tahun di Oklo, Republik Gabon....

Dan bagaimanapun juga, para ahli menemukan bahwa pada puing-puing maupun sisa-sisa tengkorak manusia yang ditemukan di Mohenjo-Daroo, ternyata mengandung residu radioaktif yang hanya bisa dihasilkan lewat ledakan Thermonuklir skala besar...

Ya, dan sekitar 1.000.000 tahun yang lalu, di India sana orang sudah mampu membangun jembatan sepanjang 18 mil yang menghubungkan pulau Srilanka dgn India.... jembatan yang memotong selat...

Yah, meski seperti dongeng, bagaimanapun juga di dasar samudra atlantik juga ditemukan puing-puing peradaban, yang diperkirakan 12.000 tahun silam adalah daratan, yang kemudian disebut-sebut sebagai kerajaan Atlantis..., seperti yang dikisahkan Plato di Timaeus dan Critiasnya...

Lantas, mengapa manusia di tahun sekitar 3000 SM kembali ke jaman batu? Dan baru setelah sekitar 5000 tahun kemudian, manusia baru bisa mengenal nuklir?

Mungkin nggak sih, peradaban manusia yang tinggi itu pernah hancur karena perang nuklir?
Dan..., mungkin nggak ya, sebentar lagi kejadian itu akan kembali berulang?


...?


***

20 April 2009

menyapa ragu

dulu sering terucap, tak kenal "ragu"
tanpa disadari ternyata "ragu" selalu tertawa terbahak-bahak saat itu
diri membiarkan "ragu" berdiri, duduk, atau tiduran di sudut itu
tanpa pernah ada keinginan untuk menyapanya...
hanya tatapan mata yang beradu beberapa detik
dan selesai begitu saja
tetapi semakin penasaran dengan "ragu" yang selalu menyeringai
akhirnya tiba saat dimana diri tak kuasa untuk tidak menyapanya...

dan diri menyapa "ragu"...
tak disangka...., sambutan "ragu" itu begitu hangat...
dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan besar
yang dulu selalu enggan ditanyakan
setiap diri menjawab satu pertanyaan, "ragu" menambah pertanyaan lain
yang harus dijawab
diri tertahan di sudut itu berbincang dengan "ragu"
"ragu" tak membiarkan diri berlalu
karena ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan terus menerus
tanpa sadar, terjalin persahabatan dengan "ragu"
hanya karena diri menyapanya, satu kali...


***

05 April 2009

ramai yang tak berujung...

selalu ramai...
meski berada dalam ruang tanpa manusia lain di sana...
karea AKU mencari sepi...
baru saja jawaban itu menguak:
Elegi Menggapai Sepi
...

***

sebuah kalimat

mengapa tergeletak di situ?

padahal huruf-huruf sudah ngantri sangat panjang di benak...

mengapa memposisikan diri ditempat itu?

menghentikan ratusan kata yang masih bisa tertulis...

mengapa kamu tidak selunak saudaramu?

mempersilakan huruf untuk berhenti sejenak,
kemudian menyediakan jalan untuknya kembali merangkai kalimat yang panjangnya tanpa batas

mengapa terdiam di situ?

membuat pena ikut diam tak berkutik...

koma tak kan muncul lagi karena titik

di sebuah kalimat...

19 Maret 2009

”Kosong” tak berarti ”tidak berarti” : refleksi perkuliahan filsafat


Perkuliahan tanggal 16 Maret 2009, di ruang M1.
Pagi itu, ketika aku memasuki kelas, suasana kelas tidak seperti biasanya. Ramai. Mahasiswa memegang fotokopian yang lumayan tebal. Penasaran dengan isinya, aku dekati sekumpulan teman, dan mendengarkan apa yang sedang mereka diskusikan, ”... Lakatos, bukan? Yang ilmu adalah kesalahan itu....,”. Aku segera menduga: yang mereka pegang adalah fotokopian kumpulan elegi yang ditulis oleh dosen kami, Pak Marsigit, di blognya. Anda pun bisa membaca elegi-elegi itu di Means of Global.

Sangat menyenangkan mendengarkan mereka berdiskusi. Aku belum punya fotokopian itu. Selama ini, aku hanya membaca elegi-nya langsung dari komputer, belum sempat aku print, atau memfotokopi punya teman. Mereka bilang hari itu ujian. Aku? Entah apa yang aku pikirkan, aku sama sekali tidak punya insting kalau hari itu ujian mata kuliah Filsafat Pendidikan Matematika.

Beberapa menit kemudian, Pak Marsigit datang. Mahasiswa mulai tampak tegang. Seperti biasa, Pak Marsigit meminta kami menyusun kursi tempat duduk kami berpola melingkar, menghadap Pak Marsigit. Saat itu ada yang nyeletuk,”berarti tidak jadi ujian...”. Aku pun berpikir demikian.

Kuliah dimulai, dan Pak Marsigit menawarkan kepada kami yang ingin bertanya. Setelah senyap sesaat, ada seorang mahasiswa yang bertanya, menanyakan salah satu elegi berjudul Elegi Menggapai Sang Kholiq, yang sengaja dibiarkan kosong oleh Pak Marsigit. Apa maksudnya?
Beliau pun menjelaskannya dengan cukup panjang.
Untuk menggapai sang Kholiq, kita hanya bisa berdoa. Dan menurut beliau, berdoa itu harus all out. All out dalam berdoa adalah ketika sudah tidak lagi memikirkan apa pun. Seseorang yang all out dalam berdoa tidak akan memikirkan apapun, melainkan doanya. Beliau juga menyampaikan, tidak cukup berdoa itu hanya beberapa kali saja dalam sehari. Berdoa itu sepantasnya dilakukan di setiap waktu yang kita lalui. Berdoa, mengingat Tuhan kita, sepantasnya menyertai setiap gerik kita, hembusan nafas kita, setiap langkah kita, setiap ucapan kita. Jadi, beliau menambahkan, doa itu kontinu, tidak diskret. Yakni, tidak ada celah untuk tidak berdoa.
Menurut beliau, doa adalah penangkal kesombongan.
Sehingga, mengapa elegi menggapai sang kholiq tersebut kosong? Jawabannya adalah bahwa penulisnya, Pak Marsigit, sedang berdoa. Berdoa, sehingga tak mampu berpikir apapun lagi.
Beliau juga menjelaskan bahwa sesuatu yang tampak kosong belum tentu benar-benar kosong, karena sejatinya tak ada yang benar-benar kosong di dunia ini. Beliau mengumpamakan, sebuah roda sepeda yang berputar amat cepat, maka ruji-ruji roda itu tidak akan terlihat, sehingga ruang di sebelah dalam lingkaran roda itu tampak kosong. Padahal, di dalamnya ada ruji-ruji yang berputar amat cepat. Seseorang yang menyangkanya kosong dan memasukkan tangannya ke dalamnya, sudah dapa dipastikan tangannya akan terluka bahkan bisa putus. Perumpamaan yang lain, black hole (lubang hitam) di angkasa, yang tampak kosong tetapi menyimpan energi yang bisa menarik apa saja yang ada di dekatnya. Ini menunjukkan black hole itu sebenarnya tidak kosong.
Beliau selalu menyinggung bahwa beliau tidak bisa berkata telah khusyuk dalam berdoa, dan tidak bisa mendefinisikan kata khusyuk.
Pembicaraan kemudian berlanjut ke elegi beliau yang lain, yaitu menggapai merdeka. Beliau berpendapat bahwa sejatinya manusia itu tak ada yang benar-benar merdeka, hanya berusaha untuk merdeka. Karena, ketika seseorang masih menjadi objek bagi yang lain, maka ia belum merdeka. Padahal, setiap orang tidak ada yang bisa terbebas dari menjadi objek. Ketika kita memikirkan seseorang, maka otomatis seseorang itu telah menjadi objek bagi kita. Pada faktanya, kita tak akan pernah terbebas dari dipikirkan atau diterjemahkan oleh orang lain. Contohnya, saat kuliah, dosen memikirkan/menerjemahkan kita. Di rumah, orang tua kita sedang memikirkan kita, atau mungkin menjadikan kita sebagai objek dari doa-doanya. Ya, kita tak akan pernah bisa terbebas dari menjadi objek. Meski demikian, kita juga tak akan pernah lepas dari menjadi subjek bagi yang lain. Manusia hanya bisa menggapai merdeka, yang pada kenyataannya tak akan pernah bisa ia raih.

Di akhir perkuliahan, baru beliau menjelaskan, bahwa seandainya tidak ada yang bertanya, sebenarnya hari itu akan ada ujian. Namun karena ada yang bertanya, maka tidak jadi ada ujian. (ooh...)


***

17 Maret 2009

Apakah benar bahwa 1/2 (setengah) itu positif?!

Sebuah pertanyaan yang mungkin bagi sebagian orang tampak bodoh dan sudah tak perlu ditanyakan lagi. Tetapi, inilah pertanyaan yang muncul saat perkuliahan Analisis Real beberapa hari yang lalu.

Sebagian orang mungkin akan langsung berkata: tentu saja setengah itu positif, tak perlu dipertanyakan lagi. Ternyata, matematika mempertanyakan: mana buktinya?

Yang kami ketahui adalah suatu teorema bahwa 1 itu positif, yang berdampak pada kenyataan bahwa semua bilangan asli adalah positif. Kami juga sudah mempelajari beberapa teorema urutan dalam himpunan bilangan real. Pembuktiannya menggunakan beberapa teorema itu.

Jadi, jika setengah itu bukan bilangan positif, ada dua kemungkinan: pertama, setengah adalah bilangan negatif; kedua, setengah sama dengan nol. Pernyataan kedua sudah jelas tidak mungkin karena nol adalah elemen identitas terhadap penjumlahan, dimana elemen identitas itu tunggal.

Pembuktian selanjutnya :


Jika kurang jelas, silakan klik gambar di atas.
Terjawablah mengapa setengah itu positif.
phiuh...


***

12 Maret 2009

mengartikan kecewa...


Apa itu kecewa?

"kecewa" terlihat dari cara seseorang bicara...
"kecewa" terlihat dari cara seseorang memandang...
"kecewa" bisa dilihat dari cara seseorang berjalan meninggalkan kita...
"kecewa" bisa dilihat dari cara seseorang tersenyum...

kecewa adalah orang yang berkata "Oh" dengan nada bertanya...
kecewa adalah orang yang tersenyum, mengedipkan matanya sekali, dan menarik nafas agak panjang...
kecewa adalah dosen yang meninggalkan ruang kuliah saat jam kuliah belum habis, dengan wajah tertunduk...
kecewa adalah mahasiswa yang menangis setelah dosen meninggalkan ruang perkuliahan dengan wajah tertunduk....

kecewa bukan pada orang lain...,
kecewa bukan pada dosen...,
kecewa bukan pada mahasiswa...,

tapi kecewa pada diri..., dan diri..., dan diri....


***

Leonhard Euler: blind but super productive


Leonhard Euler (1707 – 1783) lahir di Basel, Swiss. Ayahnya berharap agar ia menjadi seperti dirinya, bekerja di kementerian. Tetapi ketika Euler memasuki Basel University di usia 14 tahun, talenta matematikanya berhasil membuat Johann Bernoulli, mentornya, terpukau. Di tahun 1977, Euler pergi ke Rusia untuk bergabung dengan putra Johann, Daniel, di Akademi St. Petersburgh yang baru. Disana dia bertemu dan akhirnya menikah dengan Katharina Gsell, putri dari seorang seniman Swiss.

Di tahun 1741, Euler menerima tawaran dari Frederick The Great untuk bergabung di Akademi Berlin, dimana dia akhirnya berada di sana selama 25 tahun. Selama masa itu dia menulis beberapa buku tentang Kalkulus dan secara kontinu mempublikasikan paper-papernya. Ia juga menulis beberapa volum paper yang diberi judul Letters to A German Princess, atas permintaan Putri Anhalt-Dessau.

Di tahun 1766, dia kembali ke Rusia memenuhi undangan Catherine The Great. Euler mengalami gangguan pada penglihatannya, dan selang beberapa waktu setelah ia kembali ke Rusia, dia mengalami kebutaan total.

Yang menakjubkan adalah, kebutaannya menimbulkan efek yang luar biasa pada karya-karyanya di bidang matematika. Dia tetap berkarya, menulis beberapa buku dan lebih dari 400 paper ketika dia buta. Dia senantiasa sibuk dan aktif sampai hari kematiannya.

Produktivitas Euler semasa hidupnya memberikan kontribusi yang besar terhadap perkembangan matematika dan dunia ilmu pengetahuan : dia menulis buku-buku teks Fisika, Aljabar, Kalkulus, Analisis Real dan Kompleks, Geometri Analitik dan Diferensial, dan Berbagai Macam buku Kalkulus. Dia juga menulis ratusan paper yang original mencapai lebih dari 74 volum, yang beberapa di antaranya memenangkan penghargaan.


***

Gottfried Leibniz: perselisihan dengan pengikut Newton


Gottfried Wilhelm Leibniz (1646 – 1746) lahir di Leipzig, Jerman. Dia masih berusia enam tahun ketika ayahnya, seorang professor of philosophy, meninggal dunia, dan mewariskan kepada putranya sebuah kunci ke perpustakaannya dan sebuah kehidupan yang penuh buku dan pembelajaran. Leibniz memasuki University of Leipzig di usia 15 tahun, dan lulus di usia 17 tahun, dan memperoleh gelar Doctor of Law dari University of Altdorf empat tahun sesudahnya.

Dia menulis tentang hukum, tetapi lebih tertarik kepada filsafat. Dia juga mengembangkan teori yang original tentang bahasa dan asal-usul alam semesta.

Pada tahun 1672, dia pergi ke Paris sebagai diplomat, selama empat tahun. Selama berada di sana, ia mulai mempelajari matematika bersama seorang matematikawan Belanda, Christiaan Huygens. Perjalanannya ke London dalam rangka mengunjungi Royal Academy, semakin menambah ketertarikannya terhadap matematika. Background-nya dalam hal filsafat membuatnya sangat original, meskipun tidak selalu tepat, tetapi produktif.

Tanpa menyadari karya Newton yang belum dipublikasikan, Leibniz mempublikasikan beberapa makalahnya di tahun 1680-an, yang menyajikan sebuah metode untuk menemukan luas, yang sekarang terkenal sebagai Fundamental Theorem of Calculus. Dia mengenalkan istilah ”calculus” dan notasi dy/dx, dan juga notasi S yang sekarang kita gunakan.

Sayangnya, beberapa pengikut Newton menuduh Leibniz sebagai penjiplak karya Newton. Perselisihan tentang hal ini terus berlangsung hingga meninggalnya Leibniz. Pendekatan yang digunakan Leibniz dan Newton terhadap Kalkulus sebenarnya sungguh berbeda dan sekarang telah terbukti bahwa penemuan mereka adalah independen, tidak ada plagiarism/penjiplakan satu sama lain. Leibniz sekarang masyhur dengan karya-karyanya di bidang Filsafat, sedangkan popularitasnya dalam hal matematika berhenti sampai karyanya tentang Kalkulus.


***

09 Maret 2009

Bilangan Irasional: Bukan bilangan tidak masuk akal

Anggota himpunan bilangan real (R) yang bisa dinyatakan sebagai rasio dari bilangan bulat, yaitu dalam bentuk a/b, dimana a, b adalah bilangan bulat dan b bukan 0, disebut bilangan rasional.

Himpunan semua bilangan rasional di R dilambangkan dengan Q. Hasil penjumlahan dan perkalian dari dua bilangan rasional adalah bilangan rasional juga.

Fakta bahwa ada bilangan real yang bukan bilangan rasional, tidak muncul begitu saja secara tiba-tiba. Di abad ke-6 SM, masyarakat Yunani kuno, yaitu para Pythagorean (pengikut Pythagoras), menemukan bahwa panjang diagonal dari sebuah persegi yang panjang sisinya 1 satuan, tidak dapat dinyatakan sebagai sebuah rasio (perbandingan) dari bilangan bulat. Mereka mencari panjang diagonal persegi itu dengan teorema Pythagoras (tentang segitiga siku-siku), dan berhenti pada kesimpulan bahwa tidak ada bilangan rasional yang kuadratnya sama dengan 2. Satu konsekuensinya, adalah bahwa terdapat bilangan real yang bukan bilangan rasional selanjutnya dikenal dengan bilangan irasional.


Bilangan irasional berarti bahwa bilangan itu tidak bisa dinyatakan sebagai rasio (perbandingan) dari bilangan-bilangan bulat.

Kata irasional, dalam bahasa Inggris, irrational, artinya tidak masuk akal. Tentu saja dalam konteks matematika atau bilangan, makna ini tidak kita gunakan.


***

Infinitive Love

my love is a geometric series
which has ratio more than one
my love is a turn up monoton graph
there is no maximum point
there is no minimum point
but some stationer point, that will
brings my love
up, to the unlimited point
my love is the tangent of a half of pi radian
my love is infinitive
there is no limit


***

04 Maret 2009

Matematikawan Amatir?


Menurut wikipedia, Matematika adalah ilmu yang mempelajari tentang kuantitas, struktur, ruang, perubahan, dan topik-topik yang berkaitan dengan pola dan bentuk. Para matematikawan mencari pola yang ditemukan pada bilangan, ruang, ilmu alam, komputer, abstraksi imajiner, atau tempat yang lain.

Kata matematika berasal dari bahasa Yunani, mathema, yang berarti proses pembelajaran, proses studi, ilmu pengetahuan.
Matematika muncul ketika ada permasalahan yang melibatkan kuantitas, struktur, ruang, atau perubahan. Permasalahan seperti ini pada awalnya ditemukan dalam perdagangan, pengukuran tanah, dan astronomi. Sekarang, hampir semua ilmu pengetahuan membutuhkan matematika.

Matematika bukanlah sebuah sistem intelektual yang tertutup, dimana segalanya sudah terselesaikan. Masih banyak hal yang belum terselesaikan dalam matematika. Buktinya, setiap bulan terbit ratusan paper yang berisi penemuan-penemuan baru dalam matematika, oleh orang-orang yang mempelajari matematika dari berbagai penjuru dunia.

Bahkan, matematika berhutang besar kepada para matematikawan amatir. Mengapa disebut amatir? Karena bidang utama yang mereka tekuni sebetulnya bukan matematika. Tetapi kontribusi mereka bagi perkembangan matematika termasuk bisa diperhitungkan.
Para matematikawan amatir itu, antara lain (nama dan pekerjaan):

* Ahmes (scribe)
* Robert Ammann (programmer and postal worker)
* John Arbuthnot (surgeon and author)
* Jean-Robert Argand (bookkeeper)
* Rev. Thomas Bayes (Presbyterian minister)
* Harlan J. Brothers (teacher, inventor, and musician)
* Sir James Cockle (judge)
* Martin Demaine (goldsmith and glass artist)
* Reo Fortune (anthropologist)
* Bernard Frénicle de Bessy (counsellor)
* Danica McKeller (actress)
* Britney Gallivan (high school student)
* James Garfield (United States President)
* Thorold Gosset (lawyer)
* Hermann Grassmann (school teacher)
* George Green (miller)
* Oliver Heaviside (telegraph operator)
* Kurt Heegner (private scholar)
* F. H. Jackson (navy chaplain)
* Alfred Bray Kempe (lawyer)
* Emanuel Lasker (chess player)
* Napoleon I (general)
* Florence Nightingale (nurse)
* Kathleen Ollerenshaw (politician)
* Rudolf Ondrejka (veterinarian)
* Nicolò Paganini (schoolboy)
* Panini (linguist)
* Kenneth Perko (lawyer)
* Pingala (musician)
* François Proth (farmer)
* Marjorie Rice (homemaker)
* William Shanks (landlord)
* Gaston Tarry (civil servant)
* Nigel Chan (undergraduate student)
* Magnus Wenninger (monk)


Dan yang dianugerahi gelar sebagai "The King of Amateurs", adalah:
Pierre de Fermat (lawyer)



(sumber: wikipedia )


***

25 Februari 2009

Coba bayangkan......

Can you imagine if there aren't any number system in this world?
How can the human build their house?
How can a man buy something?
How can a man make a computer?
How can a man make a road?
How can a man make a type machine?
How can a man make a machine?
Hoe can a man measure something?
....
etc.

So, thank's God, You give us the ability to make a number system, and so to learn mathematics...

08 Februari 2009

Religiusitas Matematika

Saat belajar Biologi, aku bisa tahu tentang kerumitan susunan sel atau DNA makhluk hidup, yang mengantarkanku pada lantunan tasbih memuji Rabb-ku.

Saat belajar Fisika dan Astronomi, aku menyaksikan jalan-jalan yang dimiliki oleh bermilyar bintang, planet, serta galaksi di angkasa yang tidak saling memotong. Aku pun terbawa dalam decak takdzim, meng-akbarkan Rabb-ku.

Saat belajar Kimia, aku disuguhi kenyataan bahwa inti atom yang sebegitu mininya, ternyata menyimpan energi yang bisa menghancurluluhkan sebuah peradaban. Aku diajak menjelajahi bermacam-macam unsur di alam yang memiliki keteraturan sifat yang luar biasa. Bagaimana aku bisa percaya bahwa semua unsur itu muncul secara spontan tanpa ada yang mendesainnya? Dan aku pun mengakui kejeniusan Rabb-ku.

Saat belajar Sejarah, aku belajar tentang kegigihan, perjuangan, dan kebenaran yang suatu saat pasti menang.

Saat belajar Geologi, aku diajak menjelajah terjadinya gunung dan berbagai fenomena alam, yang ternyata sudah dijelaskan di Al-Quran 1400 tahun yang lalu. Bagaimana aku tidak semakin yakin akan kebenaran ajaran Rabb-ku?

Lalu, saat belajar Sosiologi, aku diajak berbagi dengan sesama, diajak mencintai dan mengasihi sesama. Dan itu adalah ajaran dari Rabb-ku.

Lalu...., tiba saat belajar matematika. Aku dihadapkan pada angka-angka yang bisa aku tulis sampai tak terbatas. Aku disuguhi persoalan-persoalan lucu: beli 2 apel dan 1 jeruk harganya segini, beli 3 apel dan 4 jeruk harganya segitu, berapa harga 1 apel? Sederhana, bukan? Aku diajak mengubah bahasa verbal menjadi kalimat-kalimat dengan simbol-simbol seperti x, y, dan angka-angka. Menghitung, menghitung, dan menghitung. Entah apapun yang dihitung, yang penting menghitung. Bukuku mulai dipenuhi angka-angka dan simbol-simbol aneh. Waktuku tersita oleh soal-soal latihan matematika yang sepertinya sangat bahagia jika aku pecahkan. Lalu, dimana decak takdzim, lantunan tasbih, serta gaung takbir dalam hati saat belajar matematika?

Bahkan ketika aku berjalan-jalan di dunia maya aku menemukan suatu pernyataan bahwa matematika telah membuktikan bahwa God = 0, dan sebuah gambar seperti di bawah ini:



Seorang guru pernah berkata: Matematika itu alat, kawan. Ia adalah sarana. Keindahannya tak kan nampak ketika ia hanya berdiri sendiri. Ia harus digunakan, baru akan jelas kehebatan dan keindahannya. Ia tidak membuat orang kagum kepadanya. Tetapi orang yang memahaminya, akan dibawanya mengerti kehebatan Sang Pencipta.

Guru itu lalu melanjutkan: Coba ingat saat kamu belajar Biologi, kamu dibuat terpesona oleh keunikan bilangan pada molekul DNA. Itu karena kamu paham matematika, kawan. Saat belajar Fisika maupun astronomi, kamu pasti bertasbih melihat planet-planet berotasi dan berevolusi tanpa saling bertumbukan, dan kamu berdecak takdzim saat melihat bilangan bintang dan galaksi yang besarnya masyaAllah. Itu karena kamu memahami matematika, kamu tahu bahwa bintang dengan ukuran sebesar itu dan jumlah yang seabreg itu, ternyata tidak pernah saling bertumbukan dalam geraknya. Kamu pun jadi bisa membayangkan, betapa dahsyat ukuran alam semesta itu. Apalagi ditambah kenyataan bahwa ia selalu mengembang. Ditambah, saat belajar Kimia kamu terkagum-kagum dengan bilangan-bilangan massa atom yang membentuk barisan bilangan yang unik. Sehingga, kamu jadi bisa membayangkan betapa jenius, hebat, dan Maha Besarnya Rabb-mu yang menciptakan itu semua.

Guru itu berkata lagi: Matematika itu sangat arif. Ia tidak berharap manusia mengaguminya. Ia hanya ingin dipahami. Karena dengan itu, ia bisa mengantarkan manusia kepada rasa syukur dan ketundukan kepada Rabb yang telah menciptakan alam semesta.

Seorang Siswa dan Matematika

15 Juli 2008

Dyariku, ini hari pertamaku dapat mata pelajaran Matematika di SMP-ku yang baru. Guruku galak bgt, aku jadi takut. Guru matematikaku memberiku PR seabreg. Latihan 1, dari nomor 1 sampai 10, yang tiap nomor terdiri dari poin a sampai f, bahkan ada yang sampai j. Aku pusing, soal-soalnya susah. Pulang sekolah, aku langsung pergi ke rumah temen untuk ngerjain PR bareng, soalnya besok pagi harus sudah jadi. Sampai sore aku ngerjain PR, belum selesai juga. Akhirnya aku pulang. Sampai rumah, aku cerita ke ibuku. Pengen minta bantuan, eh ibuku malah bilang dia nggak bisa. Mana PR-ku masih kurang banyak bgt. Akhirnya aku nglembur, baru saja selesai. Tahu nggak, sekarang sudah jam berapa? Jam 00.31. Jangan bilang-bilang ya dy, tadi aku nangis. Hiks-hiks. Aku tidur dulu ya...., moga-moga aja besok nggak kesiangan.

16 Juli 2008

Dy, hiks-hiks..., hari ini sangat buruk. Tadi, Matematika membahas PR yang kemarin. Guruku berkeliling, meneliti PR kami. Kami juga disuruh menuliskan jawaban kami di depan kelas. Satu persatu kami ditunjuk mengerjakan soal di depan kelas. Tadi aku deg-degan, takut ditunjuk untuk mengerjakan di depan. Aku kan nggak yakin jawabanku benar. Apalagi, setiap ada siswa yang jawabannya salah, guruku selalu memarahinya, bahkan ada yang kepalanya di-onyo-onyo, dijedugin ke papan tulis. Aku kan takut. Eh, nggak tahunya, aku juga ditunjuk maju ke depan kelas. Tahu nggak dy, tadi kata guruku, caraku mengerjakan soal itu salah. Aku jadi malu. Masa aku dibilang goblok sama guruku itu? Apa aku memang bodoh ya dy?
Ternyata PR-nya kemarin tidak dinilai. Cuma dibahas satu persatu anak maju ke depan kelas aja. Padahal aku sudah mengerjakannya sangat rapi di buku latihanku, sampai jam dua belas malam lagi. Hiks, hiks. Jadi pengen nangis.
Dy, matematika itu sulit.

29 Januari 2009

Cara Jitu Belajar Matematika

Belajar matematika? Butuh strategi dan cara-cara jitu agar jadi selezat makan sate (hehe...).

Bagaimana bisa? Orang selama ini saya selalu mual jika belajar matematika? Kalau itu yang anda rasakan, anda perlu membaca artikel saya sebelumnya, tentang cara mengatasi gejala kronis saat belajar matematika.

Setelah anda bisa mengatasi gejala-gejala kronis yang menjengkelkan itu, anda perlu mereformasi dulu cara pandang anda terhadap matematika, khususnya mengenai maksud dan tujuan kemunculan matematika.

Setelah anda memahami esensi belajar matematika, tentunya anda tidak bisa diam saja. Anda butuh strategi yang lebih jitu dalam belajar matematika.

Bagaimana strateginya? Silakan anda simak artikel ini sampai tuntas.

Langkah pertama yang perlu anda lakukan adalah mengenal materi yang sedang anda pelajari. Apakah itu tentang Logaritma? Apakah itu tentang Aljabar? Apakah itu tentang Teori Peluang? atau yang lain?

Langkah kedua, berdasarkan materi yang anda pelajari itu, identifikasikan apa yang anda butuhkan.
Misalnya, anda sedang mempelajari Kalkulus Integral. Jelas, ketelitian, pengenalan pola, keterampilan dan kecepatan berhitung anda perlukan untuk bisa menguasainya. So, yang anda butuhkan dalam mempelajari Kalkulus Integral adalah banyak berlatih mengerjakan soal. Tentu saja anda juga perlu memahami berbagai teorema atau sifat-sifat di dalamnya. Tetapi, porsi latihan soal tetap harus lebih banyak.

Contoh yang lain, anda sedang mempelajari Teori Peluang dan Teori Bilangan. Anda akan dihadapkan dengan banyak soal jenis pembuktian, dan penalaran. So, jelas, anda butuh memahami sampai ke dasar-dasarnya mengenai berbagai definisi dan teorema. Judulnya saja sudah jelas: Teori. Definisi dan teorema-teorema itu akan sangat anda butuhkan dalam proses pembuktian atau berbagai soal penalaran. Jadi, yang perlu anda utamakan dalam mempelajari Teori Peluang adalah dengan memahami berbagai definisi dan teorema sebelum melangkah ke latihan soal.

Langkah ketiga, setelah anda mengetahui apa yang anda butuhkan, segeralah beraksi. Segeralah ambil tindakan, yakni memenuhi kebutuhan anda. Kalau anda butuh banyak latihan soal, ya segeralah berlatih mengerjakan soal. Kalau anda butuh memahami teorema dan definisi, ya segeralah pahami teorema dan definisi yang anda butuhkan.

Langkah keempat, menambah porsi latihan soal anda. Anda tentu sudah tahu bahwa meninggalkan latihan soal, artinya anda meninggalkan matematika. Tentu anda tidak menginginkannya.

Langkah kelima, anda butuh yang namanya keuletan. Pantang menyerah sangat dibutuhkan dalam belajar matematika. Tidak lekas puas, tidak lekas menyerah, sangat mempengaruhi kesuksesan anda dalam belajar matematika. Jika menghadapi soal yang tidak bisa anda pecahkan, cobalah sekali lagi. Jika tetap tidak bisa, cobalah tanya ke teman anda, atau guru anda, atau dosen anda.

Langkah keenam, buang rasa takut salah anda. Takut salah dalam belajar matematika sama sekali tidak dibutuhkan. Tak perlu khawatir anda akan menghabiskan berlembar-lembar kertas hanya untuk memecahkan satu permasalahan matematika. Tak perlu sayang untuk membuang kertas-kertas yang berisi jawaban salah anda, dan menggantinya dengan kertas dan jawaban yang baru. Saya sangat sepakat dengan seorang matematikawan: belajar matematika itu tidak hanya butuh pena dan kertas, tetapi juga butuh tempat sampah.

Langkah ketujuh, sebarkan artikel ini ke teman-teman anda yang lain. :)
(Ini langkah penting yang perlu anda lakukan. Hehe...)

Selamat makan sate. Ups salah. Selamat belajar matematika!
Semoga sukses....!
:)



***