26 Mei 2009

Salesman di Toko Roti

Dulu, sepertinya kami tak merasa lapar. Tetapi entah mengapa, orang tua kami mengantarkan kami ke Toko Roti. Di sana kami harus makan roti yang dijual oleh Toko Roti itu. Di toko itu ada banyak pelayan, penjual roti yang menawarkan rotinya kepada kami. Sebutlah para penjual roti itu para ’salesman’.

Orang tua kami sangat percaya kepada para salesman itu. Urusan makan kami pun dipercayakan kepada para salesman itu. Aneh memang. Setiap hari kami meluangkan waktu kami, dari jam 07.00 – 13.30, dan itu berlangsung lebih kurang selama 12 tahun, kecuali hari Minggu dan hari-hari libur. Kami benar-benar meluangkan waktu kami itu, hanya untuk pergi ke toko roti. Orang tua kami tidak lupa memberi kami uang saku untuk biaya transport kami ke toko roti. Bahkan, orang tua kami juga sudah membayar di muka, dan ada yang tiap bulan rutin membayar ke toko roti itu. Semua itu dilakukan agar gizi kami terjaga, agar kami bisa mendapatkan paket roti untuk bekal hidup kami nanti.

Kadang kami tidak merasa lapar, dan malas. Tapi bagaimanapun, kami harus selalu pergi ke toko roti itu. Seolah-olah toko roti itulah hidup kami. Kadang kami merasa, orang tua kami berharap terlalu besar dari toko roti itu. Ada benarnya juga sih, karena dengan gizi yang baik, kami akan sehat, dan aktivitas kami pun bisa berjalan dengan baik.

Sebenarnya, mungkin kami lapar, tetapi kami belum bisa menyadarinya. Para salesman, dan bapak ibu kami selalu berpesan, ”Pergi ke toko roti itu penting karena di sana kamu akan mendapatkan roti untuk bekal hidup kamu.”

Kadang kami bertanya-tanya, ”Mengapa harus pergi ke toko roti kalau hanya untuk makan roti? Bukankah di rumah, ibu juga bisa membuat roti dan kemudian memberikannya untuk kami? Bahkan di rumah kita bisa makan roti bersama keluarga?”

Namun, selalu saja dijawab, ”Kami sibuk, tidak bisa membuatkan roti untukmu, apalagi menemanimu makan roti. Pergilah ke toko roti itu. Carilah roti di sana sebanyak-banyaknya”.Hmmmph...., akhirnya, kami mencoba untuk nurut. Kami rajin pergi ke toko roti, untuk mendapatkan roti di sana. Ada roti yang harus kami makan di sana, dan ada juga roti yang harus kami bawa pulang, untuk kami makan di rumah.

Orang tua kami sangat percaya kepada para salesman di toko roti itu, begitu juga kami. Mungkin bahasa salesman itu sangat meyakinkan bagi kami, mungkin juga bimbingan dan arahan para salesman itu terlalu jelas bagi kami, atau mungkin tak terlalu jelas tetapi kami jalani begitu saja sarannya.

Kami tak bisa menolak paket roti yang diberikan oleh para salesman itu. Nggak sopan.... Dan lagipula, kami sangat percaya kepada para salesman itu. Kami yakin roti yang diberikannya itu adalah roti-roti bergizi, yang menyehatkan badan kami. Kami tak pernah berprasangka macam-macam. Rasanya di lidah kami juga enak-enak saja. Kadang, ada juga sih, roti yang agak susah kami telan, bahkan sampai ingin muntah. Namun karena percaya bahwa roti-roti itu bergizi, maka kami selalu berusaha menghabiskannya.

Setelah 12 tahun berlalu, toko roti itu menyatakan sudah tidak ada lagi roti yang pantas diberikan kepada kami.
Akhirnya, aku memutuskan untuk mencari tempat lain. Aku mencari roti yang bisa menjadikanku salesman roti. Aku ingin bekerja di toko roti. Orang tuaku pun memberiku uang saku, untuk pergi ke ’grosir roti’. Toko roti yang sangat besar. Salesman di sana, sebagian besar adalah orang yang sudah mengeerti bagaimana cara membuat roti, bermacam-macam roti.

Di grosir roti itu, aku dikenalkan dengan bermacam-macam roti, juga bahan-bahan yang digunakan untuk membuatnya, serta alasan mengapa roti-roti itu penting untuk hidupku.
Perlahan tapi pasti, aku mulai mengenal bahan-bahan penyusun roti. Aku benar-benar kaget mendapatkan kenyataan bahwa roti-roti yang dulu kumakan selama lebih kurang 12 tahun itu tak semuanya roti yang sehat dan bergizi. Ternyata ada beberapa roti yang mengandung pengawet, racun yang bisa membunuhku secara perlahan. Ada juga roti yang beragi, tampaknya besar, tetapi kandungan energinya sebenarnya cuma sedikit. Ternyata ada juga roti yang mengandung pemanis buatan, tak baik juga untuk kesehatanku. Mau bagaimana lagi? Roti-roti itu sudah terlanjur kutelan.

Kemudian aku mendapatkan sepaket roti yang merknya ”Filsafat Pendidikan Matematika”. Dengan makan roti itu, aku sadar, bahwa ternyata para salesman yang dulu melayaniku di toko roti itu tak sesempurna yang aku bayangkan. Aku juga jadi sadar, bahwa tugasku nanti, saat menjadi salesman di toko roti, tidaklah mudah. Hmmmph..., berat juga ternyata. Kesehatan ribuan pelanggan tergantung roti yang akan kuberikan pada mereka. Jadi, aku harus mengenal betul, mana roti yang bergizi, mana roti yang beragi, mana roti yang beracun. Kemudian, aku juga harus tahu roti seperti apa yang dibutuhkan pelangganku nantinya. Sebagai salesman, tugasku adalah melayani pelanggan dengan baik. Roti yang kuberikan nanti harus bisa menyeimbangkan perkembangan intelektual, emosional, dan spiritual mereka.

Tetapi, aku juga musti berhati-hati saat makan paket roti itu, harus memilah-milah, tapi juga nggak boleh setengah-setengah.

Sungguh, menjadi salesman roti itu bukan pekerjaan gampang. Apalagi dalam hal ini, roti adalah ilmu, dan toko roti adalah sekolah. Dan salesman, tentu saja gurunya.

2 komentar:

  1. weh...weh..weh..,
    q juga sring di jejelin roti ma salesman2 yg galak..
    emg susah nelennya, pa lgi lw rotinya pahit
    :D

    BalasHapus
  2. @juwita
    berarti juwita harus sedia gula yang banyak atau margarin+coklat atau keju sekalian sebelum pergi ke toko roti...
    hehe...

    BalasHapus