19 Juni 2009

kampus hijau pun menguning

Tahun ini, kampus hijau sibuk. Orang-orang hijau yang baru turun dari kapal hijau diterjunkan untuk memberi warna hijau di kapal-kapal yang baru berlabuh yang berwarna merah, putih, hitam, kuning, ataupun biru.

Orang-orang hijau diberi modal cat hijau. Kapal-kapal pendatang pun segera setelahnya tampak hijau dan dipenuhi orang-orang hijau. Karena cat hanya mampu memoles warna permukaan, akhirnya muncullah orang-orang berpakaian hijau tetapi berjiwa pink, kuning, hitam, biru, dan sebagainya.

Salam hijau tersebar dimana-mana. Seseorang akan disebut hijau asalkan berpakaian hijau dan suka berbahasa hijau. Saat ini mulai dari yang berjiwa pink, merah, kuning, ungu ,sampai hitam pun berpakaian hijau. Semua kegiatan diberi embel-embel hijau. Atau, kalau nggak hijau, yang penting pelaksana kegiatannya orang-orang hijau. Mulai dari diskusi kecil-kecilan tingkat prodi sampai seminar tingkat nasional, dari penyambutan pendatang baru sampai pelepasan wisuda, orang-orang hijau ada di sana. Tak lupa selalu membawa cat hijau kemanapun perginya.

Hijau sekarang dijadikan warna penghias di setiap sudut kampus karena diyakini hijau adalah warna yang akan mengantarkan kepada kebahagiaan dan ampuh membentengi diri dari siksa.

Buku hijau ada di dalam tas orang-orang hijau. Atau karena dianggap saking sucinya, makanya buku hijaunya cuma ditaruh di rak paling atas atau bahkan di atas almarinya yang berdebu biar nggak ada yang menandingi ketinggian dan kemuliaannya.

Selalu digembar-gemborkan bahwa buku hijau itu isinya bukan syair, bukan pula sihir ataupun mantra. Tetapi tetap saja di rumah-rumah hijau, atau di pondok-pondok hijau orang-orang hijau belajar mensyairkan isi buku hijau. Komplit bin njlimet. Mulai dari panjang pendek pengucapan, hukum-hukum bacaan, bacaan-bacaan dengan ketentuan-ketentuan khusus, sampai lagu-lagu bacaan yang aduhai. Semuanya tampak indah karena dilakukan orang-orang hijau. Lomba hijau melagukan isi buku hijau pun jadi event besar di negeri dengan penduduk hijau paling banyak ini.

Padahal, katanya buku hijau itu berisi hukum-hukum tentang hidup dan kehidupan semesta. Tetapi dari pengeras suara di rumah-rumah hijau tiap hari Jumat siang yang terdengar adalah suara orang hijau mendendangkan isi buku hijau itu. Lucu. Hukum kok didendangkan. Bayangkan saja seandainya teks UUD ’45 dijadikan lagu lalu tiap hari Senin dinyanyikan dan nggak pernah dijalankan hukumnya. (^_^)

Karena katanya buku hijau itu susah dipahami, terlalu suci untuk ditafsirkan, maka yang terjadi di pondok-pondok hijau, pelajaran tentang hukum hijau malah bersumber dari buku-buku kuning tulisan tangan manusia. Kalau mau memahami buku hijau, ya pelajari dari tafsir kuning.

Maka yang lahir ya orang-orang hijau tadi..., berpakaian hijau, bermulut hijau, tapi berpemikiran kuning. Bahkan kalau diamat-amati, pakaian mereka semakin kuning saja, ada yang makin lebar, dan ada yang makin congklang.

Ya. Kampus hijau sibuk. Orang-orang hijau sibuk berdiskusi tentang hukum kuning. Judulnya sih mau menegakkan hukum hijau, tapi isi dan oututnya tetap saja hukum kuning. Judulnya sih mau menegakkan khilafah hijau, tetapi isi dan outputnya tetap saja khilafah kuning. Orang-orang hijau tak mau membedakan warna kuning dengan hijau. Bagi mereka, kuning itu ya hijau, hijau itu ya kuning. Mungkin orang-orang hijau telah buta warna.

Buku kuning itu sudah dianggap wakil dari buku hijau. Orang hijau yang hafal dan menjalankan seluruh isi buku kuning dianggap sebagai orang hijau kelas beringin yang berilmu tinggi. Orang sedikit skeptis yang menanyakan konten buku kuning yang tak masuk akal, yang tak tercantum di dalam buku hijau, selalu disodori pernyataan turun-temurun bahwa penulisan buku kuning itu butuh perjuangan keras, pencarian dan penelusuran kebenaran dari orang-orang hijau kelas beringin yang diakui kehijauannya, dan tak ada keraguan padanya. Padahal apa yang bisa menghalangi mulut manusia hijau sekalipun dari kesalahan periwayatan dan dari kebohongan? Bukankah tak ada manusia yang sempurna?

Orang sedikit skeptis pun akhirnya menipu akalnya sendiri untuk menerima konten buku kuning itu meski akalnya pengen muntah. Orang yang mempelajari buku hijau murni tanpa pendampingan buku kuning justru dicap sesat, ditangkap sampai dihukum mati.
Orang hijau kelas beringin berpemikiran kuning sudah seperti tuhan baru bagi orang-orang hijau kelas akar rumput. Ke arah mana angin meniup daun-daun beringin…, ke arah itu pula rerumputan mencondongkan daunnya. Padahal, bukan angin hijau yang bertiup, melainkan angin kuning karena membawa uap air kuning.

Kalau mau dicermati lebih detil lagi, ternyata orang-orang hijau di kampus hijau yang membawa cat hijau kemanapun pergi, juga membawa berbotol-botol air kuning untuk menumbuhkan pemikiran-pemikiran kuning pada diri orang-orang hijau yang baru.
Dimana-mana orang hijau tetap saja seperti itu, membawa air kuning kemanapun pergi. Karena air kuning itu tak bisa mengobati rasa haus, orang-orang hijau selalu saja haus. Mereka mencari-cari air di tempat-tempat yang biasanya ada air. Air yang dicari ya air kuning, yang dibungkus dengan wadah hijau. Bahkan film pink atau biru sekalipun, asalkan judulnya diberi embel-embel hijau, segera laris di pasaran hijau. Contohnya ya film tentang cinta yang kehijau-hijauan itu. Tak peduli air yang direguk dari sana warnanya kuning bahkan hitam pekat. Dalam pikiran kuning orang hijau, whatever-lah, yang penting niatnya, dan asiknya, rame-rame….


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar