07 November 2009

SEMANGAT, jangan tinggalkan aku lagi!!!

Akhir-akhir ini, aku merasa ada yang kosong di salah satu ruang hidupku, suatu ruang yang dulu selalu terisi oleh suatu hal. Kutelisiklah, siapa yang melarikan diri dari ruang hidupku itu. Setelah melalui penyelidikan yang cukup lama dan mendalam, dan berdasarkan jejak-jejak serta sidik yang ada, serta wawancara dengan berbagai penghuni lain dalam ruang hidupku, dan juga dengan pihak luar, dapat kuidentifikasi bahwa yang menghilang itu adalah si “semangat”!

Si “semangat” telah memutuskan untuk pergi dari ruang-ruang hidupku. Aku pun mencoba menyelidiki apa yang menyebabkannya tampak pergi begitu saja tanpa pamit, seperti tak pernah tahu adab perijinan.

Awalnya aku menyalahkan keadaan. Tapi, itu menyalahi teori bahwa keadaan itu tak pernah salah. Jadi, pasti sumbernya ada dalam diriku. Suara-suara tudingan dari para penghuni lain di ruang-ruang hidupku mulai mengganggu keselarasan pendengaranku. Semuanya berebut mengemukakan kritikan terhadapku.

Si ‘bingung’ mengatakan, “Sepertinya kamu terlalu pilih kasih akhir-akhir ini. Maaf sebelumnya, tetapi aku merasa aku terlalu kau sayang. Sayangmu kepadaku sangat jauh melebihi sayangmu pada si ‘semangat’. Tidakkah kamu merasakannya?”

Lalu si ‘ragu’ menimpali, “Iya, aku juga merasa, kamu terlalu sering ngobrol denganku. Kadang aku sampai heran melihatmu betah berjam-jam melayani pertanyaan-pertanyaanku, sementara si ‘semangat’ hanya menjadi orang ketiga di antara kita yang tak pernah kita ajak ngobrol. Bukankah si semangat itu pastinya sangat berharap untuk kau tanyai kabarnya juga? Kau harusnya tahu-lah, si ‘semangat’ itu kan pendiam, jadi harus kausapa lebih dulu.”

Si ‘sedih’ berkata, ”Akhir-akhir ini kamu sangat sering mengundangku hadir setelah kamu berbincang dengan si ‘ragu’ dan si ‘bingung’. Dan kadang aku merasa, pujianmu kepadaku terlalu berlebihan. Kamu nggak pernah tahu ya, kalau si ‘semangat’ kadang juga sering memujiku akhir-akhir ini?”

Si ‘malas’ angkat bicara, “Sebenarnya aku nggak mau membela siapapun, karena justru aku bahagia dengan kepergian si ‘semangat’. Aku hanya ingin kau tahu, bahwa antara aku dan ‘semangat’ ada perseteruan sengit, yang sudah berlangsung sejak kelahiranmu. Menurutku pantas saja si ‘semangat’ pergi tanpa pamit padamu. Jelas-lah dia cemburu dan marah karena melihatmu memanjakanku.”

Si ‘kecewa’ mendesakku, “Saat ini kau nggak pantas memujiku karena kepergian si ‘semangat’ yang tampak tanpa pamit. Tapi harusnya kau memujiku karena kesalahan dirimu sendiri. Menurutku si ‘semangat’ itu pastinya sudah pamit padamu, tapi kau tak menghiraukannya. Akhir-akhir ini kau tak pernah menghiraukan sapaan si ‘semangat’. Kau tak mendengar saat ia tersenyum dan bertanya ‘apa kabarmu hari ini?’. Kau melewati begitu saja ruangannya tanpa menoleh sedikitpun padanya. Kau tak tahu saat ia ngobrol dengan si ‘sedih’ dan mengeluarkan air mata karena merasa tak kau pedulikan. Ia pernah ngobrol denganku untuk menerjemahkan perasaannya. Kukatakan padanya bahwa mungkin ia terlalu pendiam sehingga kehadirannya tak kausadari. Memang, akhir-akhir ini sepertinya kau terlalu sibuk memintaku menerjemahkan perasaanmu. ”

Aku menyela mereka, “OK, aku telah mendengar tanggapan kalian. Lalu, apa yang harus kulakukan agar si ‘semangat’ mau menjaga ruang hidupku lagi? Sementara, aku tak tahu entah kemana perginya.”
Si ‘bingung’ berkata, “Kau memanggilku?”
“Tidak ‘bingung’, jangan ajak ngobrol aku dulu saat ini,” pintaku.
“OK, aku akan tetap terjaga sampai kau temukan jawabannya,” jawab si ‘bingung’.
“Oh, tidak…”, pikirku.

Lalu datang si ‘empati’, “Sepertinya, kau bisa minta tolong si ‘syukur’ untuk menghubungi si ‘semangat’. Si ‘semangat’ sangat akrab dengan si ‘syukur’. Kulihat, dulu mereka sangat sering bersama kemanapun pergi. Tampaknya kau perlu segera minta tolong pada si ‘syukur’ sebelum ia juga memutuskan untuk pergi seperti si ‘semangat’. Soalnya, akhir-akhir ini, ia juga sering ngobrol sama si ‘sedih’ dan si ‘kecewa’. Bisa jadi, itu karena kau tak pernah mendengarkan pendapat si ‘syukur’.”
Ya, aku terlalu sibuk dengan si ‘bingung’, ‘ragu’, ‘sedih’, ‘kecewa’, dan jarang menyapa si ‘syukur’ dan ‘semangat’. Harusnya aku mendengarkan pendapat si ‘syukur’, dan juga menanyakan kabar si ‘semangat’ setelah aku ngobrol dengan si ‘bingung’, ‘ragu’, ‘sedih’, maupun ‘kecewa’. Karena nyatanya, semua keraguan dan peristiwa yang kualami ini membawaku menuju ke sesuatu yang sebenarnya aku butuhkan.

“Akhirnya kau memanggilku! Terima kasih! Aku akan dengan senang membantumu!”
Si ‘syukur’?!
Si ‘syukur’ memojokkanku dengan pertanyaan-pertanyaan retorisnya, “Kurasa akhirnya kau mengerti. Kau sedih karena si ‘semangat’ telah pergi? Apakah hidupmu mulai membosankan tanpa si ‘semangat’? Apakah pekerjaanmu mulai tampak biasa saja tanpa si ‘semangat’? Apakah kau mulai merasa hidupmu tak luar biasa tanpa si ‘semangat’? Apakah kau mulai merasa tak ada bedanya antara bangun tidur dan berangkat tidur? Apakah kau mulai merasa tak ada bedanya antara sakit dan sehat? Apakah kau mulai merasa waktu begitu cepat berlalu sedang kau masih terpaku di tempat dudukmu? Apakah kau mulai merasa kuliah, kerja, dan hidupmu ini suatu ‘tuntutan’? Apakah kau mulai merasa bahwa sepertinya hidupmu sampai kematianmu akan biasa saja? Apakah kau mulai tersiksa dan merasa tertuntut dengan semua rutinitasmu? Apakah kau mulai merasa bahwa kau akan terlindas oleh sejarah? Apakah kau merasa suntuk tanpa si ‘semangat’? Apakah kau mulai merasa tak ada bedanya antara ‘melihat’ dan ‘melakukan’? Apakah kau mulai merasa segalanya hancur dan reruntuhannya menimpamu? Apakah kau mulai mengandaikan bisa sembunyi dari Tuhan? Apakah kau mulai merasa semua ilmu tampak biasa saja? Apakah kau mulai merasa kau tak pantas memperoleh semua priviledge sebagai manusia, tanpa si ‘semangat’?” si ‘syukur’ menatapku beberapa detik.
Kukatakan, “Aku ingin si ‘semangat’ kembali menjaga ruang hidupku. Aku membutuhkannya.”

Si ‘syukur’ menjawab, “kau tak menyadari siapa yang ada di belakangku ini? kuhadirkan si ‘semangat’ untukmu.”

Pengalaman memahami perbedaan antara kesadaran dan kebiasaan ini mungkin bukan hal baru bagi sebagian besar orang, tetapi ini hal baru bagiku. Dan mungkin, yang bisa memahami ini hanya orang-orang yang juga sudah mengalami hal seperti yang sudah kualami. Dan sangat mungkin, ini adalah hal klise bagi yang belum pernah mengalaminya.
Aku menyadari, ternyata dulu aku belum menyadari makna dan manfaat “semangat”. Dulu ‘semangat’ adalah hal klise bagiku. Bahkan aku tak menyadari bahwa aku dulu begitu bersemangat. Mungkin, dulu SEMANGAT hanya menjadi kebiasaan dalam hidupku, yang tak kutahu maknanya. Hingga setelah ia pergi, lama baru kusadari manfaatnya.
Semoga SEMANGAT betah tinggal di ruang hidupku mulai detik ini, dan untuk selamanya.

saat sepi menari untukku ( setelah kuajak pulang karena kasihan melihatnya “menari di tepi jalan”),
31 Oktober 2009
20:48 (jam kelebihan 35 menit)


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar