19 Maret 2009

”Kosong” tak berarti ”tidak berarti” : refleksi perkuliahan filsafat


Perkuliahan tanggal 16 Maret 2009, di ruang M1.
Pagi itu, ketika aku memasuki kelas, suasana kelas tidak seperti biasanya. Ramai. Mahasiswa memegang fotokopian yang lumayan tebal. Penasaran dengan isinya, aku dekati sekumpulan teman, dan mendengarkan apa yang sedang mereka diskusikan, ”... Lakatos, bukan? Yang ilmu adalah kesalahan itu....,”. Aku segera menduga: yang mereka pegang adalah fotokopian kumpulan elegi yang ditulis oleh dosen kami, Pak Marsigit, di blognya. Anda pun bisa membaca elegi-elegi itu di Means of Global.

Sangat menyenangkan mendengarkan mereka berdiskusi. Aku belum punya fotokopian itu. Selama ini, aku hanya membaca elegi-nya langsung dari komputer, belum sempat aku print, atau memfotokopi punya teman. Mereka bilang hari itu ujian. Aku? Entah apa yang aku pikirkan, aku sama sekali tidak punya insting kalau hari itu ujian mata kuliah Filsafat Pendidikan Matematika.

Beberapa menit kemudian, Pak Marsigit datang. Mahasiswa mulai tampak tegang. Seperti biasa, Pak Marsigit meminta kami menyusun kursi tempat duduk kami berpola melingkar, menghadap Pak Marsigit. Saat itu ada yang nyeletuk,”berarti tidak jadi ujian...”. Aku pun berpikir demikian.

Kuliah dimulai, dan Pak Marsigit menawarkan kepada kami yang ingin bertanya. Setelah senyap sesaat, ada seorang mahasiswa yang bertanya, menanyakan salah satu elegi berjudul Elegi Menggapai Sang Kholiq, yang sengaja dibiarkan kosong oleh Pak Marsigit. Apa maksudnya?
Beliau pun menjelaskannya dengan cukup panjang.
Untuk menggapai sang Kholiq, kita hanya bisa berdoa. Dan menurut beliau, berdoa itu harus all out. All out dalam berdoa adalah ketika sudah tidak lagi memikirkan apa pun. Seseorang yang all out dalam berdoa tidak akan memikirkan apapun, melainkan doanya. Beliau juga menyampaikan, tidak cukup berdoa itu hanya beberapa kali saja dalam sehari. Berdoa itu sepantasnya dilakukan di setiap waktu yang kita lalui. Berdoa, mengingat Tuhan kita, sepantasnya menyertai setiap gerik kita, hembusan nafas kita, setiap langkah kita, setiap ucapan kita. Jadi, beliau menambahkan, doa itu kontinu, tidak diskret. Yakni, tidak ada celah untuk tidak berdoa.
Menurut beliau, doa adalah penangkal kesombongan.
Sehingga, mengapa elegi menggapai sang kholiq tersebut kosong? Jawabannya adalah bahwa penulisnya, Pak Marsigit, sedang berdoa. Berdoa, sehingga tak mampu berpikir apapun lagi.
Beliau juga menjelaskan bahwa sesuatu yang tampak kosong belum tentu benar-benar kosong, karena sejatinya tak ada yang benar-benar kosong di dunia ini. Beliau mengumpamakan, sebuah roda sepeda yang berputar amat cepat, maka ruji-ruji roda itu tidak akan terlihat, sehingga ruang di sebelah dalam lingkaran roda itu tampak kosong. Padahal, di dalamnya ada ruji-ruji yang berputar amat cepat. Seseorang yang menyangkanya kosong dan memasukkan tangannya ke dalamnya, sudah dapa dipastikan tangannya akan terluka bahkan bisa putus. Perumpamaan yang lain, black hole (lubang hitam) di angkasa, yang tampak kosong tetapi menyimpan energi yang bisa menarik apa saja yang ada di dekatnya. Ini menunjukkan black hole itu sebenarnya tidak kosong.
Beliau selalu menyinggung bahwa beliau tidak bisa berkata telah khusyuk dalam berdoa, dan tidak bisa mendefinisikan kata khusyuk.
Pembicaraan kemudian berlanjut ke elegi beliau yang lain, yaitu menggapai merdeka. Beliau berpendapat bahwa sejatinya manusia itu tak ada yang benar-benar merdeka, hanya berusaha untuk merdeka. Karena, ketika seseorang masih menjadi objek bagi yang lain, maka ia belum merdeka. Padahal, setiap orang tidak ada yang bisa terbebas dari menjadi objek. Ketika kita memikirkan seseorang, maka otomatis seseorang itu telah menjadi objek bagi kita. Pada faktanya, kita tak akan pernah terbebas dari dipikirkan atau diterjemahkan oleh orang lain. Contohnya, saat kuliah, dosen memikirkan/menerjemahkan kita. Di rumah, orang tua kita sedang memikirkan kita, atau mungkin menjadikan kita sebagai objek dari doa-doanya. Ya, kita tak akan pernah bisa terbebas dari menjadi objek. Meski demikian, kita juga tak akan pernah lepas dari menjadi subjek bagi yang lain. Manusia hanya bisa menggapai merdeka, yang pada kenyataannya tak akan pernah bisa ia raih.

Di akhir perkuliahan, baru beliau menjelaskan, bahwa seandainya tidak ada yang bertanya, sebenarnya hari itu akan ada ujian. Namun karena ada yang bertanya, maka tidak jadi ada ujian. (ooh...)


***

6 komentar:

  1. HAl di depan mata kita saat ini, dapat juga hilang dalam sekejap,,karena kita takkan pernah tau apa yang akan terjadi di waktu yang akan datang,,1 detik, 2 detik, beberapa menit kemudian,,,yang pasti kita harus berusaha sebaik mungkin,,,siapa tau itu kan jadi catatan terakhir yang terbaik???

    BalasHapus
  2. mb cita..........
    menurutku...mb cita tak pernah kosong....
    walaupun mungkin kadang terlihat kosong...tapi ternyata mb cita adalah orang yang berisi...
    siippppp dech mb cita...

    semangat teyus yach...
    jangan penah bosen bantuin aku...

    BalasHapus
  3. @ silfia
    just do the best...,
    n never give up...

    BalasHapus
  4. @ meina
    hehe...
    terlihat kosong ya Mein?

    BalasHapus
  5. ada berasal dari tiada...
    nice blog... really 'brainy'... :-)

    BalasHapus
  6. @ Prince
    thank you very much...

    BalasHapus