27 Agustus 2010

pendefinisian Tuhan


Hmm, saya belum belajar ilmu filsafat. Saya juga bukan orang yg punya pengetahuan agama yang baik. Tentang Tuhan, apalagi. Tulisan saya juga bukan tulisan yg serius. Tak banyak tokoh yg saya kutip teorinya, atau buku yg mungkin saya tarik kesimpulannya. Tak banyak memang. Hehe.. Ya, karena memang saya belum menjadi pembaca buku yg baik. Ya, belum mampu membaca buku sampai tuntas. Sering cuma setengah-setengah saja. Mungkin ini tak baik.

Meski demikian, tak apalah saya coba menulis. Memang ini sesuatu yang belum pernah saya coba urai sebelumnya. Baru diskusi-diskusi singkat dengan beberapa teman.

Tentang atheisme. Atau, lebih tepatnya tentang pendefinisian Tuhan. Hehe… agak aneh memang, Tuhan kok didefinisikan (baca: dibuat batasannya). Tuhan mungkin tak terbatas. Tapi bagi manusia, memahami sesuatu yang “tak terbatas” mungkin bukan hal yg mudah. Ya, karena segala kemampuan indra manusia terbatas, sebatas apa yg mampu ia pikirkan. Jadi, sebelumnya saya merasa perlu minta maaf bagi pembaca yg kurang berkenan atas pendefinisian Tuhan sedang saya bicarakan ini. Hehe.. Tulisan ini sebenarnya lebih saya tujukan untuk diri saya sendiri, untuk mengurai benang di otak saya yang belum pernah diurai sebelumnya.

Atheisme bisa diartikan sebagai tak bertuhan. Dua tahun yang lalu saya pernah menulis tentang atheisme ini. Setelah saya baca lagi, saya malah tertawa sendiri.. #menertawakandirisendiri, ternyata pemahaman saya saat itu masih sangat lugu, lucu, terlalu polos, masih terlalu sempit, hehe... silakan pilih sendiri kata yg tepat untuk menggambarkannya. :))

Semakin banyak bertemu orang (meski cuma di dunia maya), saya menemukan banyak yang mengaku tak bertuhan atau atheis. Ternyata tak sedikit, dan sepertinya kian hari kian bertambah saja. Sayangnya memang di Indonesia ini atheis tak diakui. Ada kolom “agama” di KTP yang mesti diisi, hehehe..

Saya sering menjumpai ungkapan yang senada dengan: “Saya melakukan pencarian terhadap Tuhan. Tapi ternyata Tuhan yang dulu saat balita diperkenalkan orang tuaku padaku, masih belum bisa dibuktikan keberadaannya”. hmm,… saya sering merenungi pernyataan2 semacam ini..

Hmm, OK, sebenarnya dalam benak kita, siapakah Tuhan itu? Seperti apakah Dia? Di manakah Dia berada?

Dalam pandangan saya –saat ini-, atheisme adalah tentang pendefinisian Tuhan. Bagaimana kita mendefinisikan Tuhan, ini yang sangat menentukan bagi kita untuk mengaku atheis, atau theis. Mengaku tak berTuhan, atau berTuhan.

Seiring pertumbuhan manusia, seringkali pemahamannya tentang Tuhan mengalami perkembangan pula. Saat masih berusia 6 tahun, mungkin manusia masih mempunyai pengertian yang sangat sederhana tentang Tuhan. Saat 20 tahun, pengertiannya tentang Tuhan mungkin telah jauh berbeda, biasanya meluas. Jika tidak, biasanya terjadi penihilan, peniadaan, atau mungkin ketakpedulian, atau justru pembohongan diri.

Jujur, jika saat ini saya masih memahami Tuhan sebagaimana saya memahamiNya 16 tahun silam, barangkali saya lebih baik mengaku atheis saja. Hehehe… Saya tak akan bisa menerima kehadiran Tuhan yang seperti itu, untuk saat ini. Tetapi saya telah mendefinisikan Tuhan dengan definisi yang telah sangat berbeda dengan definisi yang dihadiahkan oleh lingkungan saya 16 tahun silam. Hmm, memang tak dapat dipungkiri, saya perlu berterima kasih pada banyak orang mengenai hal ini..., para sahabatku di dunia nyata, maya, atau dunia kertas (buku), hehehe... tapi Nietzche sebenarnya yang sangat berhasil membuat saya mau bersenda gurau dengan keraguan-keraguan saya.

Lalu seperti apakah definisi Tuhan-ku sekarang?

Awalnya saya berniat menguraikannya di sini, karena ini memang hal yang belum pernah saya urai secara tertulis sebelumnya. Tapi barusan saya merasa…, ah! Saya tak ingin berlaku seperti lingkungan saya 16 tahun silam, menghadiahkan definisi Tuhan pada orang lain. Mungkin biarlah definisi Tuhan itu didapat melalui pengalaman masing2 individu.. hmm (?)

Tapi saya ingin sekali mengungkapkan hal berikut ini: apalah artinya kita mengaku berTuhan atau tak berTuhan.. apalah artinya pengakuan itu, jika laku kita di kehidupan ini masih seperti tak berakal budi..

Akhirnya, seperti biasa, ini memang catatan yang tak penting untuk dibaca sebenarnya, hehehe…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar