Suasana. Kemarin sore aku berkunjung ke rumah simbah-ku di klaten, bersama Setyo, sohibku. Sampai di sana, halaman rumah yg luas segera menyambut kami. Daun-daun yg gugur, berserakan di halaman rumah. Angin semilir menimbulkan irama akibat gesekan antar daun-daun pohon mangga. Sejenak dejavu.
Simbah putri sekarang tinggal sendirian di rumah yg tergolong luas itu, setelah seminggu yg lalu ditinggal simbah kakung. Sepi, dan sakit.
Setahun yg lalu mungkin aku masih bisa berharap simbah putri menyambutku di pintu masuk rumah, menunjukkanku kamar yg bisa kupakai untuk istirahat, atau meja makan tempatku bisa mengganjal perutku. Tapi kali ini tak pantas saja aku mengharapkan itu semua. Yg ada, halaman luas menghampar, daun2 gugur berserakan, pintu dan jendela rumah tertutup, dan hanya satu pintu utama yg terbuka. Aku segera masuk, n menuju kamar simbah seolah ku tahu pasti simbah ada di ruang itu. Dan, ya, memang benar. Dg suaranya yg setengah merintih, mungkin karena perih, ia masih sempat menyambutku, n memberi instruksi padaku untuk istirahat dulu. Ah!
Aku segera menjelajah ruang-ruang yang kini memang "kosong", di rumah itu. Berdebu, dan lembab. Kubuka jendela-jendela yg setahun lalu biasa terbuka, n pintu-pintu yg sepantasnya dibuka. Kuambil sapu, dan... ya, melakukan kebiasaanku seperti tahun-tahun lalu saat berkunjung ke rumah ini: menyapu.
Ya. Aku teringat, dulu pernah aku berkata pada ayahku saat aku diminta menyapu daun-daun berserakan di halaman rumah ini, "kenapa mesti disapu tiap pagi? toh nanti daun-daunnya juga akan berguguran lagi dan kotor lagi,". Jawabannya kutemukan setidaknya setahun yg lalu, ketika simbah kakung dan simbah putriku dua-duanya sedang sakit, dan saat itu aku ke rumah ini, lalu mendapati halaman rumah yg begitu aku melihatnya, aku langsung bertanya dalam hati, "berapa hari tak disapu ya?".
Dan baru kemarin sore aku berniat, untuk menyapu halaman "rumahku" secara rutin. Ya, ruang-ruang di qalbuku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar