10 April 2010

Tuhan kalah

Sore itu, Ari dan teman-teman kontrakannya menyaksikan video ‘perang’ tak masuk akal antara Israel dan Palestina. Tak masuk akal menurutnya, karena sama sekali tak berimbang.

Lelaki itu menahan emosi yang sesekali berdesak ingin menguasainya. Marah, tapi tak tahu harus ditujukan pada siapa. Yang membuatnya bertanya-tanya, ironisnya, yang menjadi akar masalah ‘perang’ itu adalah Yerusalem, yang secara bahasa berarti: ‘daerah keselamatan’. Apakah masih pantas kota itu disebut Yerusalem?

Malamnya, ia tak bisa menghentikan dirinya untuk bertanya, yang lagi, entah ditujukan pada siapa. Ia hanya bertanya dalam benaknya, mengingat lagi berbagai tragedi dan konflik yang mengatasnamakan agama, mengingat lagi segala tindak penghancuran yang mengatasnamakan agama. Berapa ribu nyawa saja yang telah melayang karena tindakan ‘aneh’ yang mengatasnamakan agama?

Ari terpaku. Ia sadar, tiap agama punya benteng yang teramat tinggi atas ‘keraguan’. Padahal, tanpa adanya ‘keraguan’, diskusi dan dialog tak kan pernah nyata.

Ia jadi teringat kutipan kalimat yang ia baca di sebuah artikel: ”Bila seseorang menderita waham, gejala itu akan disebut gila. Bila banyak orang menderita waham yang sama, gejala itu akan disebut agama.”
Apakah nyatanya agama hanya seperti itu? Entahlah.

Lelaki itu mengambil secarik kertas, menuliskan pertanyaan-pertanyaan tak terjawab yang terlintas di pikirannya. Tapi kali ini, ia tujukan pada Tuhan: “Apa benar, dulu Kau minta kami membuat agama? Maaf, sepertinya, saat ini Kau benar-benar telah menjadi: Yang Maha Asing bagi kami. Sejak dalam kandungan, orang tua kami telah menyiapkan kalung agama untuk kami, dan begitu kami lahir, dipakaikanlah kalung itu pada kami. Lalu kami ikuti arus kehidupan. Kami sibuk mengisi waktu. Kami juga tak lupa sembahyang. Tapi jangan-jangan, disana Kau sendiri menggeleng-gelengkan kepala sambil bersuara keras menegur kami: bukan seperti itu maksud perintah-Ku!!! Tapi kami seakan terhalang dinding yang amat tebal! Kami terbius ramai bisingnya mesin-mesin dunia! Kami terbius ramai bisingnya detik yang tak henti berganti! Dan suara-Mu…, teguran-Mu…: kalah, Tuhan!!!”
Entah kenapa, ia gunakan kata ‘kami’, seakan orang-orang lain juga sedang risau.

Malam semakin sunyi, dan hembusan angin seperti terus membisikkan pertanyaan pada Ari: “Bukankah agama, yang telah mengalahkan suara Tuhan?”

Dan Ari, cuma seorang lelaki yang sedang bertanya, tidak kurang, tidak lebih.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar