Siti terbangun dini hari itu. Ia dapati jam dindingnya menunjukkan pukul 03.00. Mahasiswi yang sebentar lagi akan wisuda itu terbius sepi. Sunyi, yang sangat jarang ia rasakan.
Bertanya ia, dalam dirinya. Sekarang, skripsinya sudah selesai, sudah yudisium pula. Bukankah harusnya ia bisa merasa merdeka, bebas, seperti yang ia harapkan sejak dulu? Bebas dari skripsi, bebas dari kuliah, bebas dari tuntutan dosennya, bebas dari pertanyaan “kapan lulus?”. Tapi rasanya, ada yang berat mengganjal di hatinya, hingga ia merasa belum bebas, belum bisa ‘terbang’ sebebas elang-elang itu.
Sebentar ia termenung. Dan, ah, ya! “Aku akan menghadapi pertanyaan, ‘kerja dimana?’, ‘kapan nikah?’, ‘kapan punya rumah baru?’, ‘kapan punya anak’?’”
Tuntutan, beban. Siti seakan bertanya pada Tuhannya, “Kapan aku akan hidup merdeka, bebas dari segala tuntutan yang seakan memaksaku menjawabnya??”
Terdiam ia, merenungkan perjalanan hidupnya. Lalu….
Wow! Ia lahir 22 tahun yang lalu: -tuntutan neneknya atas kedua orang tuanya-
Ia besar, lalu sekolah, TK, SD, SMP, SMA : -tuntutan zaman, tuntutan orang tuanya-
Saat sekolah, ia juga tertuntut untuk jadi pintar, dapat nilai bagus, lulus tepat waktu setiap jenjangnya.
Kemudian ia kuliah: -tuntutan dunia kerja-. Ya, karena untuk lebih mudah dapat kerja, katanya harus punya ijazah S1. Dan saat kuliah, ia dapati beban 144 sks. Belum lagi, saat menyelesaikan skripsi yang penuh dengan tuntutan, baik dari dosen, teman, maupun saudara-saudaranya di rumah. Lalu sekarang ia dah lulus.
Angin yang masuk lewat jendela kamarnya menyapa wajahnya. Seakan ia temukan benang merah dalam perjalanan hidupnya. Ya, ini dia. Ia tuliskan di secarik kertas, sebuah pertanyaan: “apakah hidup itu hanyalah menanggung beban dan menjawab tuntutan?”.
Di luar, rumput bergoyang disapa angin, seperti saling bertanya satu sama lain, “Apakah Tuhan lupa memberitahu manusia untuk apa ia diciptakan?”.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar