23 Juni 2011

materialisasi hidup dan kehidupan

Berawal dari ayat ini, “Maka apakah mereka mencari dien yang lain dari dien Allah, padahal kepada-Nyalah berserah diri (aslama) segala yang di langit dan di bumi baik dengan suka maupun terpaksa, dan hanya kepada-Nyalah mereka dikembalikan.” (Ali Imron: 83)

Seluruh yang di langit telah “aslama”, berserah diri, tunduk patuh pada Allah. Bintang-bintang, planet, satelit, komet, dsb telah beredar sesuai garis edarnya masing-masing. Mereka patuh pada sistem perbintangan.

Seluruh yang ada di bumi telah “aslama” pula. Pohon-pohonan tumbuh dan hidup berdasarkan fitrahnya sebagai tumbuhan. Hewan pun demikian. Sistem biologis pada manusia pun telah aslama (pencernaan, peredaran darah, pernafasan, pengeluaran, syaraf, dsb), telah berjalan/beroperasi sesuai fitrah yang telah ditetapkan Allah.
Mereka tak lagi memikirkan suka atau tidak suka, terpaksa atau tidak terpaksa, bosan atau tidak bosan, karena mereka tahu sistem operasi itulah yang terbaik bagi mereka, yang terbaik untuk mereka jalankan.

Dengan adanya pertanyaan, “maka apakah mereka mencari dien yang lain dari dien Allah?”, muncullah pertanyaan: siapakah ‘mereka’? Yang kita ketahui bahwa ayat ini ditujukan kepada manusia, pastinya. (Manusia?)

Hm…., sistem biologis dalam tubuh manusia memang sudah “aslama”, sudah berjalan sesuai fitrah. Tapi bagaimana dengan akal budinya? Apakah seluruhnya telah tunduk pada fitrahnya sebagai manusia ciptaan Allah? Ada penjelasan yang bagus untuk pertanyaan ini,
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (Ali Imron: 14)

Ayat tersebut memang menunjukkan fitrah kebutuhan manusia, yaitu: seks, politik, dan materi. Ketiga hal itulah yang diingini manusia, jujur saja. Ketiga hal ini memang fitrah…, tetapi ketika manusia berlebihan dalam mengejar ketiganya, melampaui batas kewajaran, saat itulah manusia melalaikan sesuatu. Kenyataan yang ada saat ini adalah demikian, ketiga kebutuhan tersebut tak jarang terbingkai dalam label materialism. Dan inilah masalahnya. Pernahkah anda merasa bahwa segalanya seakan dimaterialisasi? hehehe…. :D *curhat.com*

Manusia menginginkan rasa masakan yang lezat di lidah, tapi praktis, maka diproduksilah MSG (materialisasi rasa). Sayuran pun jarang yang organik, tak bebas dari residu pestisida (materialisasi lagi). Secara sadar ataupun tidak, hampir tiap hari manusia memasukkan racun ke dalam tubuhnya sendiri. Pestisida dan obat-obatan pertanian lainnya tak ayal menyebabkan keseimbangan ekosistem terganggu. Dan kemarin-kemarin kita baru digegerkan dengan populasi ulat bulu yang melimpah. Racun yang masuk ke dalam tubuh tentu saja mengganggu sistem biologis tubuh kita sehingga memunculkan penyakit-penyakit seperti kanker, stroke, darah tinggi, dsb.
Kesibukan para ibu mencari materi sebabkan kebutuhan akan susu formula bagi bayi meningkat, dan dimaterialisasilah kebutuhan ini, dan baru-baru ini baru diketahui ternyata dalam susu formula terdapat bakteri yang tidak baik bagi kesehatan.
Kebutuhan akan daging pun dimaterialisasi, baik daging ayam maupun daging-daging yang lain. Kita tahu obat-obatan apa saja yang diberikan pada ayam-ayam pedaging. Dan dagingnya akan kita konsumsi.

Dulu pun kita pernah dikejutkan dengan penggunaan formalin untuk bakso dan tahu. Bahan pewarna kain yang digunakan untuk beberapa terasi, pengglonggongan daging sapi, dsb.

Kesukaan manusia terhadap kendaraan bermotorpun dimaterialisasi, sehingga terjadi eksploitasi minyak bumi secara besar-besaran, yang mana, tak hanya dimaterialisasi, tapi akhir-akhir ini minyak bumi pun dipolitisasi. :D Untuk gambaran saja, jika di suatu daerah saja misalnya terdapat 1 juta kendaraan bermotor dan misalnya tiap hari tiap kendaraan membutuhkan 1 liter bahan bakar minyak, berarti pengeluaran minyak bumi perharinya 1 juta liter untuk daerah itu saja. Bayangkan dalam satu tahun saja berapa juta liter minyak bumi yang kita keluarkan dari dalam bumi. Wajar saja lempeng bumi goncang atau bergeser dengan kasar karena kekurangan pelumas. Polusi udara karena gas buangan CO2 yang super besar tanpa diimbangi degan tanaman hijau sebabkan kadar CO2 di udara berlebih dan sebabkan efek rumah kaca, lalu global warming, dan cuaca yang tak menentu.

Seks pun dimaterialisasi. Akibatnya, AIDS. Video porno merebak, moral para pemuda terganggu.

Pendidikan yang dimaterialisasi menyebabkan pendidikan menjadi barang mewah yang tak terjangkau bagi beberapa kalangan. Orientasi pendidikan pun tak lagi jelas. (?)
Proyek-proyek pembangunan dimaterialisasi. Proyek penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan pun tak jarang dimaterialisasi. (?)

Politik dan pemerintahan dimaterialisasi. Pengabdian negara dimaterialisasi, Kebijakan pemerintah dimaterialisasi, Peradilan dimaterialisasi, Hukum dimaterialisasi. (?) Semakin maraklah eksploitasi alam dan produksi racun, serta… korupsi. Rakyat tak terurus.

Kehidupan sosial yang dimaterialisasi remains nothing but crime and unjustice. Kekurangan materi pemuas kebutuhan memunculkan pemberontak-pemberontak, pencuri-pencuri, pemerkosa, pemerkosa, pencabul-pencabul, dsb.

Ketulusan mulai terkaburkan oleh materi. Banyak pula orang-orang jenuh, haus akan kebenaran, lalu mencari dalam agama. Dan saat agama banyak diminati, agama pun dimaterialisasi. (Btw bentar lagi ramadhan, akan kita lihat di TV contoh materialisasi agama.) Apakah Tuhan juga sempat dimaterialisasi?

Fokus orang-orang pada materi sebabkan mereka tak jarang tak menaruh perhatian pada manusia lain. Selalu ada manusia yang terobjekkan dan terpinggirkan dalam materialisasi. Egoisme merebak. Kasta manusia pun terbentuk secara tanpa sadar.
Banyak orang yang kekurangan kasih sayang dan cinta sebab cinta manusia telah beralih pada materi. Setiap orang pun mencari perhatian, ingin diakui eksistensinya. Dimaterialisasilah kebutuhan eksistensi, muncullah facebook, dan salah satunya juga blog ini, hehehehe…

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Ar Ruum: 41)

Absurd memang. Materialisme telah mensistem, telah mengakar dalam pola pikir manusia. Manusia pun banyak yang mengalami kegamangan tentang mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik, mana yang buruk. Lalu banyak manusia yang menyerah, baginya yang benar adalah yang dianggap benar oleh banyak orang. Adapun manusia yang lalu baginya kebenaran itu relatif. Dan ada juga yang baginya kebenaran adalah yang dianggap benar oleh para pendahulunya. Krisis jati diri.

“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.” (Al-Mu’minuun: 71)

2 komentar: