12 April 2010

Pramoedya A. T., nice quotation

Wartawan: "Bagaimana sikap Bung terhadap penahanan yang 10 tahun ini?"

Pram : "Bukan 10 tahun, memasuki 13 tahun. Dalam Mahabharata, orang dipisahkan dari masyarakatnya selama 13 tahun. Dalam Ramayana 14 tahun. Dalam sejarah Digul 14 tahun (1928 - 1942). Dalam sejarah exorbitante rechten (hak-hak luar biasa) Gubernur Jenderal 5 tahun, kecuali bagi golongan nasionalis kiri. Tentang pribadiku? Masa yang memasuki 13 tahun ini kuanggap sebagai akibat proses nasional belaka."

Wartawan: "Perasaaan Bung sendiri? Perasaan pribadi?"

Pram : "Tidak ada apa-apa. Pribadiku tidak penting dalam proses ini."

(nyanyi sunyi seorang bisu)

***

10 April 2010

Tuhan kalah

Sore itu, Ari dan teman-teman kontrakannya menyaksikan video ‘perang’ tak masuk akal antara Israel dan Palestina. Tak masuk akal menurutnya, karena sama sekali tak berimbang.

Lelaki itu menahan emosi yang sesekali berdesak ingin menguasainya. Marah, tapi tak tahu harus ditujukan pada siapa. Yang membuatnya bertanya-tanya, ironisnya, yang menjadi akar masalah ‘perang’ itu adalah Yerusalem, yang secara bahasa berarti: ‘daerah keselamatan’. Apakah masih pantas kota itu disebut Yerusalem?

Malamnya, ia tak bisa menghentikan dirinya untuk bertanya, yang lagi, entah ditujukan pada siapa. Ia hanya bertanya dalam benaknya, mengingat lagi berbagai tragedi dan konflik yang mengatasnamakan agama, mengingat lagi segala tindak penghancuran yang mengatasnamakan agama. Berapa ribu nyawa saja yang telah melayang karena tindakan ‘aneh’ yang mengatasnamakan agama?

Ari terpaku. Ia sadar, tiap agama punya benteng yang teramat tinggi atas ‘keraguan’. Padahal, tanpa adanya ‘keraguan’, diskusi dan dialog tak kan pernah nyata.

Ia jadi teringat kutipan kalimat yang ia baca di sebuah artikel: ”Bila seseorang menderita waham, gejala itu akan disebut gila. Bila banyak orang menderita waham yang sama, gejala itu akan disebut agama.”
Apakah nyatanya agama hanya seperti itu? Entahlah.

Lelaki itu mengambil secarik kertas, menuliskan pertanyaan-pertanyaan tak terjawab yang terlintas di pikirannya. Tapi kali ini, ia tujukan pada Tuhan: “Apa benar, dulu Kau minta kami membuat agama? Maaf, sepertinya, saat ini Kau benar-benar telah menjadi: Yang Maha Asing bagi kami. Sejak dalam kandungan, orang tua kami telah menyiapkan kalung agama untuk kami, dan begitu kami lahir, dipakaikanlah kalung itu pada kami. Lalu kami ikuti arus kehidupan. Kami sibuk mengisi waktu. Kami juga tak lupa sembahyang. Tapi jangan-jangan, disana Kau sendiri menggeleng-gelengkan kepala sambil bersuara keras menegur kami: bukan seperti itu maksud perintah-Ku!!! Tapi kami seakan terhalang dinding yang amat tebal! Kami terbius ramai bisingnya mesin-mesin dunia! Kami terbius ramai bisingnya detik yang tak henti berganti! Dan suara-Mu…, teguran-Mu…: kalah, Tuhan!!!”
Entah kenapa, ia gunakan kata ‘kami’, seakan orang-orang lain juga sedang risau.

Malam semakin sunyi, dan hembusan angin seperti terus membisikkan pertanyaan pada Ari: “Bukankah agama, yang telah mengalahkan suara Tuhan?”

Dan Ari, cuma seorang lelaki yang sedang bertanya, tidak kurang, tidak lebih.

***

07 April 2010

beban

Siti terbangun dini hari itu. Ia dapati jam dindingnya menunjukkan pukul 03.00. Mahasiswi yang sebentar lagi akan wisuda itu terbius sepi. Sunyi, yang sangat jarang ia rasakan.
Bertanya ia, dalam dirinya. Sekarang, skripsinya sudah selesai, sudah yudisium pula. Bukankah harusnya ia bisa merasa merdeka, bebas, seperti yang ia harapkan sejak dulu? Bebas dari skripsi, bebas dari kuliah, bebas dari tuntutan dosennya, bebas dari pertanyaan “kapan lulus?”. Tapi rasanya, ada yang berat mengganjal di hatinya, hingga ia merasa belum bebas, belum bisa ‘terbang’ sebebas elang-elang itu.

Sebentar ia termenung. Dan, ah, ya! “Aku akan menghadapi pertanyaan, ‘kerja dimana?’, ‘kapan nikah?’, ‘kapan punya rumah baru?’, ‘kapan punya anak’?’”
Tuntutan, beban. Siti seakan bertanya pada Tuhannya, “Kapan aku akan hidup merdeka, bebas dari segala tuntutan yang seakan memaksaku menjawabnya??”

Terdiam ia, merenungkan perjalanan hidupnya. Lalu….
Wow! Ia lahir 22 tahun yang lalu: -tuntutan neneknya atas kedua orang tuanya-
Ia besar, lalu sekolah, TK, SD, SMP, SMA : -tuntutan zaman, tuntutan orang tuanya-
Saat sekolah, ia juga tertuntut untuk jadi pintar, dapat nilai bagus, lulus tepat waktu setiap jenjangnya.
Kemudian ia kuliah: -tuntutan dunia kerja-. Ya, karena untuk lebih mudah dapat kerja, katanya harus punya ijazah S1. Dan saat kuliah, ia dapati beban 144 sks. Belum lagi, saat menyelesaikan skripsi yang penuh dengan tuntutan, baik dari dosen, teman, maupun saudara-saudaranya di rumah. Lalu sekarang ia dah lulus.

Angin yang masuk lewat jendela kamarnya menyapa wajahnya. Seakan ia temukan benang merah dalam perjalanan hidupnya. Ya, ini dia. Ia tuliskan di secarik kertas, sebuah pertanyaan: “apakah hidup itu hanyalah menanggung beban dan menjawab tuntutan?”.

Di luar, rumput bergoyang disapa angin, seperti saling bertanya satu sama lain, “Apakah Tuhan lupa memberitahu manusia untuk apa ia diciptakan?”.


***

06 April 2010

just a conversation

Each year, over than 21.000.000 people receive general anesthesia. The vast majority go to sleep peacefully. They remember nothing.
30.000 of this patients are not so fortunate. They find themselves unabe to sleep. Trapped in a phenomenon known as anesthesia awareness. These victims are completely paralyzed. They can’t scream for help. They are awake.
***
Itu prolog dalam film “Awake”. Tokoh Clay dalam film itu, menderita anesthesia awareness, dan ia baru tahu itu saat ia menjalani operasi transplantasi jantung. Ia tak bisa bergerak, tak bisa bicara untuk minta pertolongan - completely paralyzed-, tapi ia bisa merasa dan mendengar. Merasakan bagaimana sakitnya saat pisau membelah kulit dadanya, merasakan bagaimana sakitnya saat tulang rusuknya di potong, merasakan bagaimana sakitnya saat jantungnya diambil... Ia juga mendengar, mendengar apa yang sedang terjadi, mendengar ketika dokter yang adalah sahabatnya sendiri itu ternyata merencanakan akan membunuhnya saat operasinya itu dengan menyuntikkan adriamisin ke jantungnya yang baru, dan mendengar ketika istrinya yang baru saja dinikahinya semalam (yang karena itu ia harus berkonflik dengan ibunya), ternyata adalah dalang dalam perencanaan pembunuhan itu.
Dan mendengar, ketika akhirnya ibunya mendonorkan jantungnya untuknya.

Clay, dengan segala kesakitan yang telah diketahuinya, merasuki SMS-an Pinky and Brain.

Pinky : “Brain, I posted something in your new note! Sorry, coz hari ini dadaku berasa berat lg! tanpa sebab! bt! kayakna yang mesti test kejiwaan tu aku dech!”

Brain : “Thank u pinky.. I miss U”

Pinky : “Brain, aku punya hoby baru, nonton “Awake” pas adegan Clay mau pesta Halloween, pas dia diambil jantungna, pas dia ngrokok sendiri trus lampu2 mati sama pas dia inget kematian ayahna, ku ulang2 terus, aku masih bingung napa dia masih mau hidup!”
“Brain, i can’t find any reason to live Anestesia awareness, sekeras apapun aku membius diriku, aku masih sadar, masih bisa merasa, I need new heart, it’s my hell, tahu ini penyakit apa Brain?”
“Everything’s gonna be OK without me, Brain! I really want to sleep forever, no brain, no feeling again!”

Brain : “Ada hal yang tidak berjalan dengan OK jika kita tak lakukan apapun: diri kita sendiri. Allah menginginkan ciptaan-Nya tuk mengabdi padaNya. Di lain pihak, Ia membuat semuanya berjalan dengan OK-OK aja tanpa kita. Mungkin Ia ingin beritahu kita bahwa kitalah yang nggak akan OK kalo kita tetap berlagak terlelap. Bukan semesta ato Allah yang butuhkan pengabdian dari manusia, tapi manusia sendiri yang butuhkanya.”
“Tak lakukan apapun: menyia-nyiakan penciptaan kita. Mungkin dunia tak butuh pengabdianmu karena dunia pasti akan memenuhi kebutuhannya sendiri. Dunia menyambut mereka yang memilih tuk mengabdi. Tapi dunia tak memaksa mereka yang tak ingin mengabdi, karena pasti akan ada yang lain yang memilih tuk mengabdi. Memilih mengabdi: memilih menjadi terus berarti bagi dunia. Memilih terus melangkah. Terlalu banyak yang belum kita tahu, terlalu banyak yang belum kita mengerti, terlalu banyak yang belum kita lihat, terlalu banyak yang sesungguhnya belum kita dengar.. Tapi, dunia tak inginkan kita tuk sekedar menunggu agar semuanya menjadi jelas dengan sendirinya. Perjuangan tuk melihat, tuk mendengar, tuk tahu, tuk mengerti, tuk paham, kemudian menentukan pilihan langkah selanjutnya, bagian dari pengabdian yang memang tak mudah. Mungkin inilah falaq.”
“Apakah kita sudah pada tahap seperti saat Clay sudah mendengar semua yang sakitkannya, melihat semua yang hancurkannya? Dan pada akhirnya Clay harus memilih, untuk pergi tinggalkan semuanya, atau bangun tuk hadapi semuanya.”
“Ya, bagaimanapun juga, telah banyak yang berkorban untuk hidup kita.”

Pinky : “I’m so sorry Brain! I try to know what I feel, but it’s hard to tell to my self that I’m selfish, arrogant, and looser! Although it’s the fact. Seumur hidupku aku selalu mikir tentang hal yang kayak di film itu, sakit dan sendiri tapi berpura-pura jadi baik. Aku sadar kalo itu salah, nggak seharusnya anak kecil mikir tentang sakit. Aku jadi cari-cari tahu ke dalam diriku, apa yang terjadi, tapi aku belum tahu, jadi menerka-nerka sesukaku! Brain, I got something, maybe!”
“Jika Allah = dunia, dunia sakit, dunia butuh jantung baru, dunia lagi operasi. Orang-orang lain, sebagai bagian dari dunia mempan dengan biusnya, mereka dibius dengan mimpi dan ritual, tapi kita masih bangun, kita rasakan sakitnya proses ini. Jadi seperti Clay saat dia masih bisa mendengar tanpa orang lain tahu, dia nemuin banyak hal yang menyakitkan. Aku belum menikmati rasa ini, jadi aku masih iri sama mereka yang mempan dibius! Intinya aku cuma mereka-reka. Thank’s Brain, I know you’re always here to listen and give me inspiration!”
“No, Brain, I can’t handle anything about my feeling without you! You know my pain and how I try to be fine! But I’m too shy to tell another else about that, they’re just know that I’m Pinky! I need you, brain! And I hope you use me as you want! Miss you.”

Brain : “Hmm.. Mirip seperti itu, Pinky. Kita nggak mempan dibiusnya. Tapi Tuhan is more than this world which its heart is being changed. Tuhan juga tahu dunia ini sedang dioperasi. Tuhan tahu akan ada yang terbius. Tuhan juga tahu akan ada orang yang tetap tersadar. Tuhan tahu akan ada orang sadar yang milih tuk pura-pura tak sadar. Tuhan juga tahu akan ada orang tersadar yang milih tuk tetap sadar dan akhirnya bangun. And you Pinky, my another brain, use me as you want.”

Pinky : “Wih… sip lah! Jadi malu ma Tuhan, hehe… OK Brain, thank’s for the permission!”

Brain : “You’re always welcome.. hehe.. See U…”

Pinky : “Like this, mamen!!! See u”

(Lalu, ada yang menyela, untuk meminta ijin kepada mereka untuk mengabadikan SMS-an mereka di sebuah note…, dan ijin diberikan)


***

05 April 2010

pindah kapal

kutipan sebuah cerita:

Sakit menghunjam hati Talo, yang baru saja memutuskan untuk berhenti berlayar bersama kapal Greens yang hampir 4 tahun dijadikannya sumber penghidupannya.

Ya, sakit, atau tepatnya, ia tak bisa menerjemahkan rasa yang kadang berdesir di hatinya, atau berkelebat di otaknya setelah ia pamitan sama awak kapal yang lain dalam perpisahan itu. Pamitan yang sampai sekarang kadang masih mengusiknya. Ya, karena Talo bilang, ia menemukan kapal lain, ‘kapal belum bernama’, yang tempat tujuannya sesuai dengan tempat yang diinginkannya selama ini, sebuah pulau yang penuh dengan keberkahan, pulau Nirwana. Memang kapal Greens selalu bilang kalau tempat tujuannya juga pulau Nirwana. Tetapi, setelah ia analisa lebih jauh, Talo merasa bahwa pulau Nirwana yang dituju kapal Greens bukanlah pulau Nirwana yang ada dalam benak Talo, rute pelayaran kapal Greens juga masih agak kabur bagi Talo. Sedangkan ‘kapal belum bernama’ yang ditemukannya itu, menurutnya menuju pulau Nirwana yang sesungguhnya diinginkannya, dan rute pelayarannya pun jelas. Ya, karena selama dua tahun terakhir ini, diam-diam ia saling berkirim surat dengan salah satu awak ‘kapal belum bernama’ itu.

Talo pernah menyesal berpamitan dengan cara seperti itu, karena apa? Ia tahu ia akan dianggap pembelot dan harus menghadapi perlakuan awak kapal Greens yang tidak akan seperti dulu lagi. Tidak seperti dulu yang walaupun Talo bukan awak yang setia di kapal Greens, tetapi ia berusaha memberikan yang terbaik yang Talo bisa dalam pelayaran kapal Greens itu. Ya, Talo tahu, awak kapal Greens tidak akan sampai hati menyakiti Talo karena mereka adalah orang-orang yang lemah lembut kepada siapapun. Bahkan Talo sempat dikirimi puisi oleh salah seorang sahabatnya dari Kapal Greens, yang isinya, ia tetap setia menunggu Talo kembali, menginginkan Talo kembali lagi bekerja di kapal Greens. Talo sebenarnya meneteskan air mata saat membaca puisi itu, karena Talo juga masih sangat mencintai sahabat-sahabatnya. Talo hanya bisa bilang, jika memang tempat tujuan kita sama, yakinlah sahabat, bahwa suatu saat nanti, kita pasti kan bertemu di pulau itu, pulau Nirwana.

Kadang ia berpikir, kenapa dulu ia tidak langsung pergi saja dari kapal Greens, tanpa pamit, supaya tak ada asumsi pembelotan, pengkhianatan. Atau pamit menggunakan alasan lain. Tapi bagaimanapun juga, ia merasa tak pantas menyesalinya. ia telah memilih, dan ia kan terus melangkah dengan pilihannya itu.

Talo memang membawa sebungkus rasa sakit di hatinya, karena tetap saja, sementara ini ia kehilangan sahabat-sahabat terbaiknya. Sahabat-sahabat terbaik yang bersama mereka, dulu Talo belajar banyak hal, melakukan perbaikan-perbaikan dalam hidupnya, dan bersama menjaga pelayaran kapal Greens.
Memang sakit, tapi Talo telah memilih kapal ini, dan selalu ia bisikkan pada dirinya, bahwa ia sudah siap menanggung segala resiko yang akan dihadapinya atas pilihannya itu. Tak peduli sesakit apapun, ia yakin bahwa kapalnya yang baru ini, akan benar-benar membawa penumpangnya ke pulau Nirwana itu, pulau yang akan memberikan keberkahan bagi manusia di dalamnya. Dan jika pun ia dapati kapal ini membohonginya, ia siap untuk mencari kapal lain lagi. Suatu ketika, di buku hariannya tertulis, “biar peluru menembus kulitku, biar 1000 pisau menusuk jantungku, aku tetap meradang menerjang”. Sepertinya ia baru saja membaca puisinya Chairil Anwar.

(mengandaikan diriku bisa setegar Talo)


***